Belajar Budaya Dari Cerpen Fanny Jonathans Poyk.
Sebagai
seseorang yang pernah belajar dan bekerja di bidang pariwisata semasa remaja
dulu, saya merasakan susahnya mencari literatur atau referensi tentang budaya
dan adat istiadat yang ada di Indonesia tercinta ini, bukan karena malas tapi
karena Nusantara sangat kaya akan budaya yang tentu saja tidak semua tercatat
bahkan di mesin google sekalipun.
Saya
seperti seorang pengelana yang kehabisan air dan tiba tiba begitu senang
menemukan sebuah mata air berlimpah saat membaca Cerpen berjudul Belis Si Mas
Kawin di Koran Kompas Minggu 10 Januari 2016. Saat pertama membaca langsung perhatian saya tertuju pada alurnya
yang mengisahkan tentang dinamika jelang pernikahan seperti lamaran dan mas
kawin, yaa, siapa saja pasti tertarik akan sebuah kisah yang di dunia nyata
pernah dialami manusia pada umumnya.
Bercerita
tentang keresahan Jublina, seorang Pegawai Negeri Sipil yang kebetulan masih
berdarah biru berbapak dari suku Ti dan Ibunya dari Suku Rote Bilba, wanita ini
menjalin hubungan dengan Benyamin Manu alias Ben, pria dari suku Ti .
Mereka
menjalin hubungan sudah berjalan lima tahun dan nampaknya ayah dari Jublina
menginginkan Ben segera meminang dan menikahi putrinya, dan ritme berjalan
menanjak saat sang bapak mengingatkan bahwa sebagai putri berdarah biru, adalah
kewajiban secara adat bagi Ben untuk memberikan Belis bernilai tinggi
sebagaimana adat yang dilestarikan dari jaman para Raja Ndana termasuk pulau Rote dimana para lelaki
sebelum menikah selain harus memberikan Mamar ( tanah perkebunan), Habas (
kalung emas), dan puluhan ekor kerbau serta sederet pengabdian sang calon
mempelai lelaki kepada keluarga pinanganten wanita, membuat Ben bergidik ,
pikiran keduanya kalut, bahkan hingga merencanakan kawin lari, meninggalkan
semua yang ada termasuk status mereka berdua sebagai PNS, sampai di bagian ini
saya mendesah seperti Pat Kay di film Sun Go Kong yang berkata “ Beginilah
cinta, deritanya tiada akhir”.
Di
akhir cerita Fanny Jonathans seakan sedang meledek para pembacanya, seakan dia
berkata “Seperti apa akhir yang kalian bayangkan? Ala Romeo Juliet, atau Siti
Nurbaya? Dan aku punya akhir ala aku sendiri” mungkin demikian Bu Fanny ini
berbicara sembari tersenyum.
Dan
akhir ceritanya memang sangat tidak terduga, akhirnya Ben berkata “ Dari hasil
tawar menawar melalui bahasa pantun yang memukau, keluargaku hanya mengajukan
dana duapuluh juta, tanpa Habas, tanpa Mamar dan tanpa puluhan kerbau, yang
sanggup diberikan ibuku hanya duapuluh juta itu, ditambah tari tarian dan
puluhan tenun ikat buatan ibuku, selebihnya aku hanya bisa memberikanmu cinta,
Jublinaku sayang”.
“Dan
ayahku, apa responnya” tanya Jublina
“Dia setuju, daripada anakku jadi perawan tua,katanya,
he..he” kata Ben.
Ada kelegaan, ada senang, ada
kilas balik yang berkelindan di benakku saat membaca cerpen ini, seperti kilas
balik pengalaman pribadi para pria saat melamar wanitanya di masa muda dulu, pencerahan
serta referensi tentang adanya budaya yang demikian tinggi menghargai wanita di
Pulau Rote serta seakan digojlok untuk mengetahui akhir cerita yang benar benar
ala Fanny Jonathan, benar benar ciamik, oke para pembaca, saya kliping dulu
cerpen ini, selamat bekerja dan berkarya di senin yang indah ini,suwun
maturnuwun.
(Aryo Widiyanto, Journalist,
Traveller , Backpacker, , Photographer, dan Abdi Negara, Blogger di aryowidiyanto.blogspot.com. Twitter di @aryowidi , Facebook
:Aryo Widiyanto, email di : aryo_widi@yahoo.co.id.
Address: Jl Sriagung 234 Cepiring Kendal Jawa Tengah Indonesia )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar