Belajar Dari Pira Sudham.
Awalnya
dari namanya, saya sempat mengira Pira Sudham adalah penulis dari India, namun
setelah membaca sebuah bukunya yang berjudul “Negeri Hujan” ternyata dia adalah
berasal dari sebuah desa kecil di Esam Thailand Timur Laut, semasa kecil
mebantu orangtuanya disawah dan menjaga kawanan kerbaunya hingga menjelang
dewasa ia pergi ke Bangkok untuk menjadi seorang pembantu biarawan, untuk
menanggung kebutuhan dan sekolahnya dia menjual cenderamata kepada turis di
jalanan kota Bangkok, sampai dia memenangkan beasiswa dari pemerintah Selandia
Baru untuk belajar bahasa Inggris dan Sastra di Auckland Univesity dan Victoria
University.
Di New
Zealand dia menulis berbagai cerita pendek, namun obsesinya adalah meenulis
tentang Thailand dari versi “Dalam” artinya dari orang Thailand sendiri, karena
kebanyakan waktu itu mayoritas tulisan dan literatur tentang Thailand ditulis
dari “Luar” artinya penulisnya orang luar negeri dan bersudut pandang dari visi
luar.
Ada
sebuah pandangannya yang tertuang dalam kalimatnya yang menunjukkan dia ingin
agar masyarakat Thailand menjadi warga yang mandiri, menghargai dan
memanfaatkan alamnya yang subur “ Setiap saat pergi ke Napo dari Bangkok, saya
memuat kendaraan Van saya dengan bibit tumbuh tumbuhan, Bibit Rempah, Benih Bambu
dan Mangga, Bibit Pepaya dari kebun bibit desa, disetiap perjalanan saya
membagikan semuanya kepada tetangga dan warga yang menerima dan langsung
menanamnya di pekarangan atau tanah kosong, Sekarang Napo mempunyai lebih dari
300 belukar Bambu muda yang dalam jangka waktu dua atau tiga tahun mendatang
menghasilkan rebung untuk dimakan, dan
bambu untuk bahan bangunan, di tahun 1993 pedesaan itu mempunyai lebih dari 800
pohon mangga, 500 pohon kelapa, 300 pohon Nangka menambah apa yang telah tumbuh
disana” tuturnya.
Uniknya
dia tidak berpolitik dan tidak meniatkan langkahnya untuk memanfaatkan warga
guna kepentingan politik “ Dan saya sudah mengatakan kepada kepala desa kami
yang baik, saya tidak ingin membangun basis kekuatan untuk menjadi perdana
menterri atau bahkan untuk menjadi kepala desa, saya hanya ingin menjadi
penduduk desa biasa, hidup dalam keharmonisan bersama penduduk yang lain.
Jika
saja, Gubernur Jawa Tengah atau Bupati Kendal
mempunyai ide dan pemikiran yang mengadopsi langkah Pira Sudham ini
dengan menanam sepanjang jalan pantura yang gersang dan tandus itu atau di
bereum sungai, atau di seluruh tanah kosong di pinggir jalan dan tanah milik
Pemda, dengan pohon Mangga atau buah
yang lain, bayangkan berapa keuntungan finansial untuk warga jika musim panen
tiba, terlebih jika pohon buah itu di serahkan pengelolaan dan hasilnya untuk
masyarakat sekitar dalam hal ini organisasi RT atau RW, maka Jawa Tengah akan
menjadi surga bagi penikmat buah, sebagaimana Singapore yang memanfaatkan
pinggiran jalannya untuk menanam Mangga, atau Thailand yang getol membudayakan penanaman pohon buah guna
menunjang pariwisata, apa salahnya menanam pohon buah untuk keuntungan
masyarakat? Daripada menanam pohon kayu Industri seperti Sengon dan Mahoni yang
gak jelas untuk siapa saat para pohon itu dipanen, seperti saat semua pohon Mahoni dan Asam Jawa di medio 80-90 an dibabat habis dengan alasan pelebaran jalan Pantura, apa masyarakat disekitar pepohonan itu kecipratan duit atau minimal kayunya?, gimana pak Gubernur? Bu
Bupati? Kapan nih kita mulai menanam pohon yang menguntungkan masyarakat,jangan
hanya slogan mulu gembar gembor tanpa ada realita .
(Aryo Widiyanto, Journalist, Traveller , Backpacker, , Photographer, dan
Abdi Negara, Blogger di aryowidiyanto.blogspot.com. Twitter di @aryowidi , Facebook
:Aryo Widiyanto, email di : aryo_widi@yahoo.co.id. Address: Jl Sriagung 234 Cepiring Kendal Jawa
Tengah Indonesia )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar