“Wiwitan Pabrik Gula Cepiring” Kabupaten Kendal
Cerobong Asap Raksasa PG Cepiring Ikon Kota Cepiring Kab Kendal_Foto :Aryo Widiyanto |
Sebuah Tradisi Pesta Rakyat yang terlupakan
Berpuluh
tahun bahkan mungkin ratusan tahun
lamanya masyarakat di Kabupaten Kendal pernah menikmati sebuah tradisi
pesta rakyat yang dinamakan “Wiwitan “
sebuah kata yang berasal dari kalimat “Wiwit “ yang artinya permulaan.
Ya,
memang tradisi Wiwitan ini adalah sebuah tradisi berwujud sebuah pasar rakyat
atau lebih akrab dinamakan pasar malam yang diselenggarakan pihak Pabrik Gula
(PG) Cepiring untuk menandai awal atau permulaan
proses penggilingan tebu di pabrik gula
satu satunya di Kabupaten Kendal ini.
Prosesi
Wiwitan ini sendiri tergolong unik dimana didahului dengan acara pawai dan arak
arakan Penganten Tebu berupa simbol dua batang tebu yang didandani layaknya sepasang
suami istri , biasanya melibatkan kesenian lokal seperti Barongan, Jaran Eblek
dan Dawangan yang berada di baris depan mengawal seekor kerbau yang akan
disembelih dan kemudian kepalanya ditanam di bawah Krosteen atau cerobong asap berukuran raksasa yang merupakan Ikon
kota Cepiring sejak jaman penjajahan Belanda.
Setelah
ritual penguburan kepala Kerbau tersebut kemudian selama kurang lebih seminggu
masyarakat akan dihibur oleh sebuah event pasar malam yang meriah dan ramai
untuk ukuran jaman itu , ambil sampel ditahun 1985 an ketika penulis masih
duduk di bangku Sekolah Dasar, kami para bocah selalu menunggu adanya pesta
rakyat ini, disamping melihat kesenian Barongan, kami selalu terpesona dengan
sejumlah mitos yang ada di seputar pabrik
gula itu seperti sepasukan Hantu Tentara Belanda yang gentayangan ditengah malam menemui para
pengunjung Wiwitan atau cerita tentang Hantu Noni Belanda cantik di lokasi
Gedung besar yang konon sempat menjadi
markas tentara Belanda dan bahkan hantu bule yang berpakaian compang camping di
bangunan SD Negeri 3 Cepiring dulunya menurut hikayat adalah merupakan Rumah Sakit Jiwa bagi orang Belanda yang
tertekan karena perang dan sebab yang
lain, cerita mistis yang tak jelas ujung pangkalnya membuat acara Wiwitan
menjadi lebih seru dan menarik bagi kami yang saat itu tak begitu akrab dengan
televisi dan film kartun.
Pasar
malam itu sendiri sebagaimana pasar malam yang ada di Kabupaten Kendal saat ini
namun sangat jauh lebih meriah, ketika
itu menjelang saat sore tiba saya masih ingat ratusan orang dari desa desa di
hampir seluruh Kabupaten Kendal dengan mengendarai sepeda atau angkutan umum
berupa mobil minibus yang penuh sesak bercampur baur antara bau solar, keringat
, dan onggokan karung berisi bunga Melati dari daerah Sukorejo dan sekitarnya
serta
Dermolen berbentuk gajah_foto :Aryo Widiyanto |
Dermolen Berbentuk kuali_Foto Aryo Widiyanto |
Atraksi Tong Stand alias Tong Setan |
Menjelang
Isya warga yang datang semakin bertambah banyak terutama di hari pertama dan
terakhir Wiwitan, suasana hingar bingar dari para tukang parkir sepeda,karena
jaman itu alat transportasi utama adalah sepeda , ditambah dengan riuhnya para
penjual buah Duku dan Salak ,entah kenapa di setiap Wiwitan saya selalu
menjumpai penjual buah Duku ini padahal saat itu mungkin bukan musimnya,
penjual makanan seperti Martabak dan Bolang Baling, pedagang mainan tradisional
seperti Otok-Otok yaitu semacam Kaleng yang diberi roda,diatasnya ditempelkan
kayu berbentuk seperti kepala ayam jago
dan dibawahnya diantara as roda kayu itu diberi karet yang tengahnya diberi
potongan kayu sehinga ketika bilah bambu yang berfungsi sebagai pendorong
didorong maka akan berbunyi otok..otok..otok..,
lalu ada juga penjual mainan Kapal Uap terbuat dari seng dimana didalam “Kabin” kapal kaleng
itu diberi semacam bahan bakar terbuat dari Kapas yang dicelupkan kedalam
minyak kelapa, ketika sudah panas maka kapal itu akan bergerak maju dengan
sendirinya dan mengeluarkan suara yang khas dan aroma minyak yang niscaya akan
selalu terkenang sepanjang masa , para bakul itu dari pintu depan berjejer memenuhi jalan beraspal yang ada di kompleks PG
Cepiring sepanjang mungkin dalam radius 4 Kilometer jika diukur keseluruhannya
menjadi sebuah simbiosis dengan para pebisnis
wahana permainan seperti Tong Stand atau yang diplesetkan oleh
lidah orang Kendal menjadi Tong Setan yaitu pertunjukan ketrampilan menaiki motor
Trail yang mampu menaiki semacam panggung raksasa berbentuk seperti Tong
terbuat dari kayu, ada lagi Jinontrol sebuah wahana permainan berbentuk seperti
kincir air yang bisa ditumpangi sekitar 20 orang bergerak dari bawah keatas,
dan percayalah ketika saya mencobanya begitu sampai diatas paling puncak yang
mungkin 40 meter dari atas tanah , rasanya hati ini deg degan kenceng banget ,
membayangkan seandainya as pemutar roda
raksasa ini lepas dan kami semua ikut menggelinding bersama Jinontrol itu seperti
puluhan ekor Hamster tak berdaya terkurung di kotak besi yang bentuknya mirip
jok becak, sungguh pengalaman yang mendebarkan, jika Jinontrol bergerak dari
bawah ke atas, lain lagi dengan Ombak
Banyu dan Dermolen wahana ini relatif
aman,karena gerakannya memutar melingkar
dan kami para bocah dimanjakan dengan
hanya duduk di atas kayu berbentuk
Kuda dan terkadang Gajah atau
mobil, tadinya saya kira Dermolen itu digerakkan oleh mesin namun sebuah
kejadian ketika saya melirik tak sengaja
ke samping, ternyata “Mesin” itu adalah berupa tenaga manusia para pekerja dermolen
yang dengan penuh semangat mendorong
dermolen itu hingga berputar selama mungkin seharian penuh.sebuah
pekerjaan yang berat, tapi dasar kami para anak anak mana mengerti tentang
penderitaan para pekerja dermolen itu,tawa kami ternyata berlandaskan keringat para pendorong dermolen, sebuah ironi
yang tak terlihat diantara kegembiraan.
Jika anak
anak punya tujuan mulia ingin menikmati suasana wiwitan dan menghabiskan uang
saku dari orang tuanya dengan membeli
Bolang Baling, Arum manis, dan berbagai jajan serta mainan, lain lagi
dengan ” modus “ para pelaku kriminal yang seiring
dengan datangnya berbagai kesempatan empuk para pengunjung dari pedesaan yang
cenderung narsis dan percaya diri banget memakai perhiasan seperti kalung
,gelang, cincin dan bahkan gelang kaki yang mencorong dan bergelantungan seakan etalase toko emas
berpindah ke tubuhnya, menjadi sasaran para Copet dan Jambret yang membaur
bersama para penikmat Wiwitan, kalo dah begini, yang repot pasti para Wakeer alias Satpam Pabrik Gula menerima pengaduan para korban copet yang tak
jarang menangis histeris ditonton
kerumunan pengunjung yang mungkin menganggapnya sebagai bagian dari kemeriahan Wiwitan.
Masih
jelas tercetak dalam ingatan saya , tak hanya anak anak dan para pencopet yang
menganggap moment Wiwitan sebagai ajang panen
kemeriahan setahun sekali, para remaja dan para “Jomblo” alias pria dan
wanita kesepian yang barusan putus cinta
atau belum menemukan jodoh acap menjadikan Wiwitan sebagai aksi unjuk
eksistensi diri demi meng “gebet” sang pujaan hati, biasanya para jomblo itu berangkat
agak gasik (Awal-red ) berjalan ramai ramai menikmati nuansa sore
ditingkahi indahnya lingkungan pabrik
gula membayangkan diri menjadi rombongan Romeo dan Mercutio yang menanti
Julietnya datang mendekat di sepanjang jalan yang dapat dinikmati sebagai jalur
alternatif atau jalan pintas menuju desa di sekitarnya, jalan PG Cepiring
hingga saat ini memang tergolong jalan paling romantis karena di tepinya tumbuh
pohon flamboyan dan Cemara Angin yang
membuat teduh dan indah, ditingkahi kicauan burung gereja di atap atap bangunan
bergaya Gothic yang dibangun oleh Kompeni Belanda sejak jaman penjajahan.
Bagi
para penikmat musik Dangdut yang merasa harus menumpahkan adrenalinnya dengan
cara berjoget sepuas hati, ajang perjogetan ini mendapat porsi tersendiri dari panitia , di lapangan samping
kanan Gedung Besar yang luas itu berdiri sekitar dua atau tiga
panggung yang tertutup rapat dengan Papan Kayu atau Seng, secara vulgar
didepannya terdapat baliho atau spanduk berlukiskan para penyanyi wanita dengan
pose yang “berani” samar samar masih
terbayang grup yang sering manggung disana itu adalah Ken Dedes dan Kelana
Karya, pengunjungnya berjubel dan tentu
saja hukum kala itu tak seketat sekarang
bau minuman menguar dari para pejoget yang kelebihan tenaga,ngosek
kesana kemari, bersenggolan dengan sesama pengunjung bahkan sampai baku pukul
tak terhindarkan, dari ajang inilah mungkin tercetus sebuah rivalitas abadi
antara para pemuda Desa Sidomulyo dan grup Kermitj
alias Kelompok Remaja Militan Tjepiring
terjadi dan menimbulkan fenomena permusuhan antar desa yang melegenda di sekitar
tahun 80 an hingga pertengahan 90an.
Kejayaan
Pabrik Gula Cepiring membawa imbas manis bagi para penduduknya saat itu, banyak
pemuda desa yang bekerja disana, jarang ada pengangguran, setiap pagi sekitar
jam 6 terdengar bunyi yang kami sebut Singal (Dari Kata Signaal-Red) kami merindukan setiap pagi adda Langes atau sisa pembakaran tebu menjadi gula
bentuknya hitam mirip arang tapi ringan seukuran bulir padi menyebar dengan bau manis disekitar atap rumah kami
saat itu, tak ada yang protes tak ada yang rewel karena kami sadari Langes
itulah yang membuat kehidupan ekonomi berjalan lancar , hingga sekitar tahun
1997 semua cerita tentang Wiwitan menjadi sebuah irisan kenangan yang akan lama
terindukan, sebab tahun itu PG Cepiring Bangkrut banyak tenaga musiman dan
karyawan diberhentikan dan dirumahkan. Satu per satu karyawan yang meninggalkan
perumahan berarsitektur Belanda yang ada di lingkungan pabrik. Saat itu tinggal
sedikit karyawan yang masih dipertahankan oleh manajemen pabrik untuk mengurus
keberadaan pabrik yang tidak beroperasi lagi.
Tak ada
lagi kemeriahan dan wajah gembira para pekerja yang berangkat kerja diiringi
derai suara Singal, tak ada lagi Langes dan bahkan ribuan ton rel kereta
api peninggalan Belanda milik PG
Cepiring juga tak jelas kemana larinya, kami kembali merindukan Lokomotif
berwarna hijau yang rajin mengeluarkan jeritan Nguik nguiknya ketika mengangkut puluhan lori tebu, kami para bocah saat itu
senang sekali menumpang di Lokomotif hijau itu, favorit saya adalah Loko nomer 9 , mengingatkan saya pada Michel
Platini pesepak bola Brilliant dari Prancis,sementara mas Henggar dan mas
Untung dua sepupu saya suka nomer 6, tanpa aku tau alasannya. Perjalanan
menumpang loko itu jelas penuh resiko,kami bertualang menjelajah desa kearah
Desa Gemuh, Pegandon, Putat, hingga Kendal kota ditemani semilir angin
pembakaran ampas tebu yang digunakan sebagai bahan bakar Loko hijau itu, menikmati
nuansa pedesaan melihat bangau yang mencari kodok kecil diantara langkah para
petani yang sedang menanam padi, sebuah memori yang akan membekas seumur hidup nampaknya.
Setelah sekian lama tutup tak
beroperasi Tahun 2008 PG Cepiring resmi beroperasi lagi, namun jika dulu tradisi Wiwitan menjadi momen berharga, megah dan juga
kebanggaan, kini hanya tinggal kenangan. Wiwitan di tahun 2008 ini digelar di lokasi
yang sangat sempit yaitu di lapangan sepak bola
miris karena ibarat petinju turun dari kelas berat menjadi kelas ringan,
bahkan super ringan, ibarat penyanyi yang terbiasa pentas di Las Vegas kini
harus berdendang di panggung Tarkam
alias antar kampung, lebih memprihatinkan lagi Wiwitan yang dulu adalah
pasar Rakyat di tahun itu berubah jadi ajang bisnis remeh temeh pihak pabrik
gula yang kini dikuasai oleh swasta, lokasi dipagari terpal rombeng dan harus membayar karcis Rp 3.000/ orang
untuk bisa memasuki lokasi. Inilah realitas yang barangkali bagi kalangan
berada tak begitu berarti. Namun bagi kalangan rakyat kecil untuk
menyaksikan sebuah tradisi yang dibanggakan itu harus dibebani biaya.
Pelaksanaan Wiwitan di bulan juli 2009 sudah mulai ada perubahan , warga sudah tak dipungut biaya lagi , tak ada terpal rombeng yang menurunkan kelas Wiwitan sebagai tontonan megah rakyat Kendal, pergelaran wayang kulit pun digelar, namun inilah mungkin kesalahan fatal dari pihak PG Cepiring,entah berkaitan atau tidak, setelah nanggap wayang ini direktur utama PG Cepiring lengser dari jabatannya, syahdan menurut mitosnya di Cepiring adalah tempat yang konon pamali untuk nanggap wayang kulit, menurut Mbah Sastro Atmojo mantan Lurah Cepiring yang mengalami masa masa penjajahan dan mulai jadi Lurah di era orde lama dan sempat menjabat di era orde baru, pernah suatu ketika ada juragan menggelar acara wayang kulit, tak lama ada badai dan angin ribut menghantam desa ini, sejak saat itu tak ada lagi yang berniat menanggap wayang kulit, sebagai gantinya kesenian tradisional Barongan yang tergabung dalam grup PBKC alias Persatuan Barongan Kelurahan Cepiring semakin eksis dan berkembang, namun sayangnya Media massa yang secara masiv menayangkan perhelatan itu baik TV ataupun Koran hanya fokus masalah prosesi arak arakan penganten tebunya, tanpa ada esensi mengulas betapa tradisi ini sudah melekat di benak warga Cepiring selama puluhan tahun.
Namun perlu
dihargai upaya PG Cepiring dalam kurun waktu terakhir ini selalu mengadakan
acara Wiwitan setiap tahunnya, hal ini sejalan dengan pemikiran Bupati Kendal Dokter
Widya Kandi Susanti yang terkenal peduli pada seni dan budaya pernah mengatakan
bahwa Kultur Budaya adalah kewajiban kita untuk melestarikannya ,jangan sampai
hanya tinggal cerita saja , terlebih Wiwitan PG Cepiring dengan pengantin
tebunya , itu tradisi yang tak dipunyai oleh negara lain, kekayaan budaya
Kendal dan bisa menjadi wahana wisata yang unik, sangat ironis jika kita
meninggalkan dan melupakan tradisi adiluhung ini .”Saya Apresiasi PG Cepiring
yang sudah berupaya melestarikan budaya
dan tradisi Wiwitan ini” papar
Bupati Kendal ini kepada penulis. (Aryo Widiyanto.Penulis adalah Redaktur
Majalah Bhara Mitra Bahurekso Media Kemitraan Polres Kendal, pengamat Seni dan
Budaya Kendal, Lahir di Kendal 1977)
Pelaksanaan Wiwitan di bulan juli 2009 sudah mulai ada perubahan , warga sudah tak dipungut biaya lagi , tak ada terpal rombeng yang menurunkan kelas Wiwitan sebagai tontonan megah rakyat Kendal, pergelaran wayang kulit pun digelar, namun inilah mungkin kesalahan fatal dari pihak PG Cepiring,entah berkaitan atau tidak, setelah nanggap wayang ini direktur utama PG Cepiring lengser dari jabatannya, syahdan menurut mitosnya di Cepiring adalah tempat yang konon pamali untuk nanggap wayang kulit, menurut Mbah Sastro Atmojo mantan Lurah Cepiring yang mengalami masa masa penjajahan dan mulai jadi Lurah di era orde lama dan sempat menjabat di era orde baru, pernah suatu ketika ada juragan menggelar acara wayang kulit, tak lama ada badai dan angin ribut menghantam desa ini, sejak saat itu tak ada lagi yang berniat menanggap wayang kulit, sebagai gantinya kesenian tradisional Barongan yang tergabung dalam grup PBKC alias Persatuan Barongan Kelurahan Cepiring semakin eksis dan berkembang, namun sayangnya Media massa yang secara masiv menayangkan perhelatan itu baik TV ataupun Koran hanya fokus masalah prosesi arak arakan penganten tebunya, tanpa ada esensi mengulas betapa tradisi ini sudah melekat di benak warga Cepiring selama puluhan tahun.