Senin, 20 Juni 2016

Wisata di Stasiun Kalibodri Pegandon Kendal Jawa Tengah



Wisata itu bernama Stasiun Kalibodri Pegandon


                Berwisata bagi warga Pegandon , Gemuh dan Ngampel Kabupaten Kendal dan sekitarnya adalah bukan barang mahal, hanya dengan berjalan kaki di minggu pagi  menuju Stasiun Kereta Api Kalibodri maka wisata eksotis nan murah tercapai sudah.

                Ketika itu saya sengaja bersama putra sulung saya naik motor di dinginnya udara sekitar pukul enam pagi menuju Stasiun legendaris itu, tiba disana masih sepi, tapi suasana semarak terasa karena ada beberapa keluarga riuh mengabadikan moment berpose di depan bangunan stasiun yang bernuansa gaya Belanda, ada juga yang berfoto di Lokomotif yang kebetulan parkir disebelah Selatan.

                Kemajuan berbagai media sosial seperti Facebook , Instagram, Flickr ,Pinterest dan Twitter membuat fotografi warga berkembang pesat tak terkecuali di desa di sekitar Stasiun Kalibodri ini, berbagai gawai canggih nampak ada di pegangan tangan mereka, mulai dari anak seumuran SD hingga usia Uzur bereuforia berfoto disana.

                Kedepan kita berharap PT KAI  semakin dekat dihati rakyat (wuaah seperti jargon partai politik aja neeh) dengan tetap mengijinkan warga berwisata minggu pagi di Stasiunnya. #yukdolanKendal

Aryo Widiyanto, Journalist, Traveller , Backpacker, , Photographer, dan Abdi Negara, Blogger di aryowidiyanto.blogspot.com. Twitter di @aryowidi , Facebook :Aryo Widiyanto, email di : aryo_widi@yahoo.co.id. Address: Jl Sriagung 234 Cepiring Kendal Jawa Tengah Indonesia. Instagram :Aryo Widiyanto
                                              
               



Sabtu, 18 Juni 2016

Sebuah Cerita Tentang Hujan



Sebuah Cerita Tentang Hujan

                Sejak belia  aku menyukai hujan, banyak cerita tentang rintik air yang diturunkan gusti Allah ini dalam hidupku, semasa masih tidur di loteng di usia SD, hal favoritku adalah mencium aroma hujan bercampur bau tanah basah yang menyeruak melalui kisi jendela usang di warung  , tidak siang tidak pagi tidak malam, aroma itu menyemburatkan romantisme masa kecil  di benakku.
                          
                Semilir angin yang dibawa sang hujan ketika akan turun ke bumi membawa ketenangan tersendiri, saat dulu kelas 6 saya , Nanang Sutanto, Arih Antoro, dan sejumlah rekan lain  yang ditugaskan belajar kelompok sering terpana dan kompak lupa belajar dan hanya bengong menatap rintik hujan yang menetes dan menjalar di tambang jemuran milik Ahmad Zaenuri sang juara kelas putra bapak yang punya usaha tambal ban di pantura Cepiring.

                Masa SMP dimana aku dirawat di RS Telogorejo Semarang, dari ketinggian lantai 2 rumah sakit itu, saya sering melamun menatap hujan sambil berdoa, “Semoga ya Allah, suatu masa aku akan kembali ke kota Semarang ini bukan sebagai orang yang sakit tapi sebagai mahasiswa yang kuliah, atau sebagai pelancong yang dolan dan jalan jalan menikmati indahnya kota ini” ucapku saat itu, lalu gusti Allah menjawab doa itu langsung lunas ketika saya sudah dewasa.

                Simbah yang mengasuh saya pernah bercerita, entah benar entah tidak, beliau menuturkan, saat hujan ada ribuan malaikat yang turun bersama rintik air yang  menyiram bumi,mohon jangan menyanggah ucapan mbah saya itu, beliau hanya orang sepuh yang menganut Islam abangan, berdoa pun beliau memakai bahasa Jawa, dimaafkanlah jika salah, tapi saya benar benar percaya ucapan itu, setiap hujan turun, saya langsung berdoa, semua apa yang ada dalam benak saya komunikasikan dengan Tuhan, saya beranggapan ucapan saya itu terbang ke haribaan Tuhan dibawa sayap sayap indah para malaikat, yaah itulah pikiran seseorang seperti saya yang bahkan mengaji dan membaca huruf Arab tidak lancar.

                Banyak kenangan tentang hujan, dan saya masih tetap melakukan ritual bengong sembari menyesap aroma hujan dan tanah basah ketika rintik itu membasahi bumi seperti saat ini ketika artikel ini ditulis untuk anda. Welcome home rain, I do  love you

Aryo Widiyanto, Journalist, Traveller , Backpacker, , Photographer, dan Abdi Negara, Blogger di aryowidiyanto.blogspot.com. Twitter di @aryowidi , Facebook :Aryo Widiyanto, email di : aryo_widi@yahoo.co.id. Address: Jl Sriagung 234 Cepiring Kendal Jawa Tengah Indonesia. Instagram :Aryo Widiyanto

Jumat, 17 Juni 2016

Ketika Kuda Lumping Mengais Rejeki di Lampu Merah Kendal



Ketika Kuda Lumping mengais rejeki di lampu merah.


    Tari adalah suatu instinct atu desakan emosi didalam diri kita yang mendorong kita untuk mencari ekspresi pada tari, demikian Kamala Devi Chattopadhyaya sang reformis sosial dan pejuang kemerdekaan India yang dikenang karena mendorong berkembangnya kesenian di negaranya serta mengangkat standar ekonomi rakyatnya dengan menghidupkan gerakan koperasi dan beberapa institusi budaya di India yang  masih eksis hingga sekarang seperti National School of draama hingga Sangeet Natak Akademi.

          Jika saja figur seperti Kamala Devi Chattopadhyaya itu ada di Indonesia mungkin saja akan membantu mengangkat pamor seorang street artist semacam Slamet (23) pemuda asal Dusun Gemawang Kabupaten Temanggung Jawa Tengah yang demikian cinta pada Kuda Lumping hingga rela mengamen menggunakan kostum Kuda Lumping di sepanjang jalur Pantura Jawa Tengah bersama puluhan seniman lainnya.


          Slamet yang kesehariannya merupakan petani dari Temanggung ini menuturkan, selepas panen Padi  dirinya memang “Hobi” mengamen dari satu kota ke kota lainnya, dengan kostum layaknya penari Jaran Kepang profesional, lengkap dengan kuda kudaan tipis yang terbuat dari anyaman bambu, cambuk , krincingan yang terbuat dari logam bundar menghiasi kaki dan tangannya, Make Up nan artistik membuat wajahnya terlihat lebih gaya dan artisitik saat menari di antara pintu rumah para warga yang disambanginya.

Tak jarang Slamet harus menempuh perjalanan jauh dari desanya hingga menjelajah seantero Jawa Tengah untuk memenuhi hasratnya menari , beberapa kali dia harus istirahat di pinggir jalan karena kelelahan dan jika kondisi tubuhnya tak memungkinkan dia berobat ke puskesmas terdekat

          “ Saya belajar menari dari kelompok seni “Cipto Budhoyo” yang ada di kampung saya, ada instrukturnya dan tak asal menari, ada kaidah yang harus dipatuhi, namun jika tak ada job atau show ya terpaksa untuk menyalurkan hobi sekaligus mencari nafkah ya saya mengamen, hitung hitung mengasah kemampuan menari dan memperkuat mental” paparnya  sambil mengenang bahwa grup keseniannya pernah manggung di Borobudur, Suropadan dan sejumlah event seni di Semarang saat pemerintah yang dianggapnya “Tak terlalu peduli” nasib seniman , mengadakan acara nan seremonial.
            Slamet sang penari mengungkapkan harapannya bahwa suatu masa nanti para pemimpin  baik itu Gubernur Jateng Ganjar Pranowo atau Jokowi atau siapa sajalah yang memegang tampuk kuasa di negeri ini bisa lebih peduli pada nasib para seniman jalanan, “ Kadang jika melihat di TV, saya sedih, seniman mendapat tempat terhormat di luar negeri disediakan pelatihan dan tempat manggung, namun di Jawa Tengah, malah pada ngamen di lampu merah, nanti jika Kuda Lumping diklaim Malaysia, pada geger protes tapi mana ada yg memikirkan nasib kami para pelestarinya” tutur Slamet terbata.

( Aryo Widiyanto, Journalist, Traveller , Backpacker, , Photographer, dan Abdi Negara, Blogger di aryowidiyanto.blogspot.com. Twitter di @aryowidi , Facebook :Aryo Widiyanto, email di : aryo_widi@yahoo.co.id. Address: Jl Sriagung 234 Cepiring Kendal Jawa Tengah Indonesia. Instagram :Aryo Widiyanto)

“Awug Awug “ Makanan Khas Kendal yang masih lestari



“Awug Awug “ Makanan Khas Kendal yang masih lestari


                Berbagai makanan import mulai dari Pizza, hamburger, dan semacamnya yang membanjiri Kabupaten Kendal Jawa Tengah nampaknya tak mampu menggeser keberadaan makanan tradisional dalam  khasanah kuliner tanah Bahurekso ini.

                Salah satu makanan tradisional yang  masih mudah ditemui  di Kabupaten Kendal adalah penganan terbuat dari Ketan yang dihaluskan kemudian tengahnya diisi dengan gula Jawa dan dibungkus daun pisang lalu dikukus hingga matang , makanan ini dinamakan Awug Awug  , dan biasanya disajikan dalam acara pernikahan guna suguhan  bagi para tamu yang datang atau disissipkan dalam “Berkat” yaitu bungkusan makanan berisi aneka rupa makanan bagi  para kolega dan kerabat yang datang ke acara pernikahan.

                Tak diketahui secara jelas kapan makanan ini mulai diciptakan, yang pasti sejak kelas satu SD yang berarti sekitar tahun 80 an makanan ini sudah ada dan ada dua  jenis Awug  Awug, pertama yang terbuat dari Ketan, Gula Jawa dan parutan Kelapa, kemudian yang kedua terbuat dari butiran sagu aneka warna dengan parutan kelapa muda  dibungkus daun pisang dan dikukus, fungsinya sama, untuk sajian di pernikahan atau hajatan.

                Rondiyah (50) salah seorang warga desa Botomulyo  Kecamatan Cepiring yang berprofesi membuat makanan tradisional mengatakan pesanan Awug Awug dari warga mulai mengalir ketika musim pernikahan dan Sunatan antara bulan Besar, Ruwah, dan Syawal  dalam penanggalan Islam, “ Tanpa Awug Awug , sajian dan hantaran Berkat rasanya kurang lengkap, karena makanan ini disukai semua umur mulai dari  anak kecil sampai usia lanjut , teksturnya empuk dan mudah dicerna” tutur wanita yang sepintas mirip Nunung artis OVJ  itu.

                Dalam cerita Awug awug ini, kelestarian makanan tradisional  yang sudah ada sejak puluhan tahun silam masih tetap eksis dan bertahan karena  masyarakat masih membutuhkannya sehingga kekayaan  khasanah kuliner  tempo dulu masih bisa ditelusuri jejaknya, kedepan semoga semakin banyak makanan tradisional lain yang terus digali dan dilestarikansehingga jadi warisan budaya tersendiri bagi generasi mendatang.


 (Aryo Widiyanto, Journalist, Traveller , Backpacker, , Photographer, dan Abdi Negara, Blogger di aryowidiyanto.blogspot.com. Twitter di @aryowidi , Facebook :Aryo Widiyanto, email di : aryo_widi@yahoo.co.id. Address: Jl Sriagung 234 Cepiring Kendal Jawa Tengah Indonesia. Instagram :Aryo Widiyanto

Kamis, 16 Juni 2016

Kupat, Lepet dan Tumpi , Kuliner Lebaran Kendal Yang Tetap Lestari.



Kupat, Lepet  dan Tumpi , Kuliner Lebaran Kendal Yang Tetap Lestari.


                Banyak memori tentang hari raya Idul Fitri atau Lebaran yang membuat mayoritas warga di luar kota ingin kembali ke kampung halaman, diantara kenangan itu adalah ingatan tentang lezatnya makanan yang disajikan saat moment tersebut dan tak ada di hari biasa.

                Salah satu dari kekayaan kuliner saat lebaran bagi warga Kabupaten Kendal adalah hidangan berupa Kupat atau Ketupat  , Lepet, dan Tumpi, ketiganya nyaris selalu ada di setiap rumah warga Kendal  saat hari kemenangan itu tiba, Kupat adalah makanan yang terbuat dari beras yang di bungkus dalam anyaman janur kelapa berbentuk segi empat, saat  “cetakan” yang berupa anyaman Janur  yaitu daun kelapa yang masih muda sudah siap  kemudian beras dimasukkan  kedalamnya dan dianyam kembali hingga utuh lalu direbus, setelah matang, cara menyantapnya adalah jamur dibelah tengah menggunakan pisau dan kemudian  isinya diiris biasanya berbentuk dadu diletakkan dalam piring dan lauknya Opor Ayam  dan Sambal Goreng Hati yang kuahnya disiramkan diatasnya.

                Sementara Lepet adalah makanan yang menyertai Kupat saat dihantarkan ke tetangga dekat, Lepet terbuat dari Ketan dan santan kelapa kasar  yang dibungkus dalam janur kelapa, beda dengan Kupat yang janurnya dianyam, untuk Lepet lebih simpel, Janur Kelapa hanya diikatkan melingkar dan diikat menggunakan tali yang terbuat dari utasan bambu, cara memasaknya juga mudah hanya tinggal direbus , cara menyantapnya tak perlu pakai Opor atau lauk, tinggal cokot langsung enak karena sudah terasa gurih dan sedikit manis.

                Yang berikutnya adalah Tumpi, kalau yang ini lebih bernuansa makanan ringan, sebuah camilan seperti keripik  tapi terbuat dari adonan tepung beras yang di taburi Kacang Hijau merata di atasnya  kemudian di goreng, rasanya unik, ada campuran gurih dan aroma kacang hijau menguar saat kita menggigitnya.

                Keberagaman kuliner ini hingga sekarang masih tetap lestari di Kabupaten Kendal, generasi muda sekarang pun tak ada kesulitan saat membuatnya, sebuah kearifan lokal yang tetap terjaga di era modern  ditengah semaraknya makanan import yang membanjir saat lebaran, Kupat, Lepet dan Tumpi tetap menjadi sebuah pilihan utama untuk disajikan.#yukdolanKendal


 (Aryo Widiyanto, Journalist, Traveller , Backpacker, , Photographer, dan Abdi Negara, Blogger di aryowidiyanto.blogspot.com. Twitter di @aryowidi , Facebook :Aryo Widiyanto, email di : aryo_widi@yahoo.co.id. Address: Jl Sriagung 234 Cepiring Kendal Jawa Tengah Indonesia. Instagram :Aryo Widiyanto).