Minggu, 13 Agustus 2017

PG Tjepiring Jembatan Budaya Indonesia-Netherland



PG Tjepiring
Kekayaan Sejarah Jembatan Dua Bangsa Yang Nyaris Terlupakan

Kota Cepiring Kendal Jawa Tengah yang terletak di jalur Pantura yang
menghubungkan tiga provinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur telah lama
terkenal karena kekayaan peninggalan bangunan dari jaman penjajahan Belanda, yang paling
mencolok adalah keberadaan Krosteen atau menara bulat yang menjulang bertuliskan PG
Tjepiring 1835 , angka tersebut diyakini adalah tahun diresmikannya Pabrik Gula (PG)
tersebut.

PG Tjepiring adalah saksi bisu terjalinnya interaksi dua bangsa yaitu Belanda dan
Indonesia yang kala itu disebut Hindia Belanda , pabrik ini bisa disebut jembatan yang
mempertemukan kepentingan ekonomi, budaya dan kultur antara Tjepiring sebagai bagian
dari Nusantara dan Belanda sebagai bagian dari entitas Eropa, peninggalan para Hollander,
sebutan untuk orang Belanda ,yang memperkaya khasanah kehidupan warga Cepiring hingga
sekarang diantaranya adalah puluhan bangunan bercorak Eropa dengan gaya Gothic ditandai
dengan jendela berukuran besar dan tembok yang kokoh masih berdiri hingga saat ini, selain
itu budaya pernikahan campuran antara orang Belanda dan orang Jawa juga terjadi di
lingkungan sekitar pabrik gula, citarasa kuliner tak ketinggalan ikut terpengaruh dengan
hadirnya hidangan seperti kue Poffertjees dan Sup Snerek atau Sup Kacang merah yang
dimodifikasi sesuai lidah warga lokal.

Krosteen atau menara pabrik itu konon menurut Agus Budhi Darmawan , seorang
Bankir yang merupakan putra dari Lurah Gemuh dan keponakan dari Lurah legendaris
Tjepiring yaitu Mbah Sastro Atmojo yang menjadi Kepala Desa sejak jelang berakhirnya
jaman Belanda, peralihan ke Jaman Jepang dan terakhir memimpin Tjepiring di era Orde
Baru, Budhi kepada penulis menuturkan bahwa menurut mbah Lurah Sastro , bentuk menara
itu adalah mengadopsi dari bentuk “Pantongan” atau Kentongan yang biasa dipakai oleh para
penduduk lokal untuk ronda malam menjaga keamanan, inspirasi dari alat yang terbuat dari
potongan bambu bulat dan dipukul berbunyi khas itulah yang membuat para arsitek Belanda
jaman itu terinspirasi dan menjadikannya sebagai bentuk krosteen yang tetap berdiri hingga
kini.



Selain Krosteen, salah satu bagian dari pabrik ini yang mempunyai kenangan sejarah adalah
sebuah bangunan bernama “Gedung Soos” , seorang warga Belanda bernama Leonie Van
Daalen yang semasa kecilnya pernah tinggal di PG Tjepiring menulis sebuah artikel berjudul
Militarie in Tjepiring , dicuplik dari laman https://javapost.nl/2013/04/15/the-military-in-
tjepiring/, Leonie menulis:
“Sejak kemerdekaan Indonesia dideklarasikan .militer Belanda tak lagi
dibutuhkan untuk patroli atau mendamaikan area dimana mereka ditugaskan, perwira tetap
menjaga pasukannya dengan latihan militer dan kompetisi, beberapa belajar berenang
sementara tinggal di perkebunan kami, kami melihat mereka berbaris melingkar berlomba
berenang, sepeda atau lomba lari, atau para pemuda yang bergelantungan diantara dua pohon
sebagai bagian dari latihannya.

Selama pelatihan,ada seorang prajurit yang jatuh kesungai yang membentang di Cepiring
(Sungai Bodri?) , sesuatu selalu terjadi . Kemudian saat mereka punya banyak waktu mereka
akan berteman dengan pegawai perkebunan dan keluarganya, semua adalah alasan untuk
makan malam, Rijsttafel atau dansa.

Di hari Natal St Nicolas tidak datang tahun ini dengan kuda putihnya, tapi dia dan
Black Peter datang ke Tjepiring dengan naik Tank, mereka menerima anak anak dan remaja
di gedung Soos, saat Black Peter mengerjai semua orang dengan ulahnya “ .
Dari tulisan Leonie Van Daalen ini ada sebuah pesan yang tersirat bahwa pabrik gula
ini merupakan aset yang sangat penting bagi Belanda karena dilihat dari segi pengamanan
dan penjagaannya saja didatangkan satu Batalyon Brigade Tijger yang merupakan salah satu
pasukan khusus yang dimiliki oleh Belanda, hingga kini Gedung Soos masih berdiri dan tak
banyak mengalami renovasi, salah satu bagian yang menjadi ciri bangunan Belanda yaitu
terasnya yang terbuka juga tak dihilangkan oleh penguasa pribumi .

Secara kultural orang Belanda sangat menyukai berenang dan berendam di kolam
yang dibuat di area tempat tinggalnya untuk menyegarkan badan ditengah panasnya udara
disekitar komplek pemukiman mereka , begitu juga di PG Tjepiring, ada sebuah kolam
renang besar yang konon sudah ada sejak pertama pabrik ini berjalan, letaknya juga tak
berubah yaitu di pojok utara dekat lapangan sepakbola , masih mereferensi tulisan dari
Leonie Van Daalen yang bertahun 1937, di beberapa paragrafnya gadis Belanda jaman itu
mengenang sebagai berikut :
“ Ketika saya dan Anny melangkah lewat emplasemen mereka dalam perjalanan menuju kolam renang diujung Tjepiring, siulan bersahutan menyapa kami, pertamanya kami sangat malu melihat banyak pemuda hanya mengenakan celana renang, diluar semua jendela para pria itu bergelantungan, mencoba mendapatkan perhatian kami dengan memanggil, “Hei
Nona” atau bersuit, beberapa keluar dari asrama dan membentuk sebuah grup lalu mengikuti
kami ke kolam renang, disana saya cepat pergi ke kamar ganti untuk mengganti baju renang
sambil berharap para lelaki itu pergi,tapi, mereka tetap berdiri mengitari kolam menunggu
kami,akhirnya saya jadi tak sabar, tapi Anny menolak meninggalkan kabin, saya membuka
pintu kabin , lari ke kolam dan berendam, pada saat itu sekitar sepuluh pemuda juga
melompat ke kolam, diikuti oleh pandemonium bagi beberapa prajurit yang tak bisa renang .
jadilah kemudian semakin banyak pemuda yang melompat untuk menolong yang
membutuhkan , beberapa diantaranya mendekatiku, membuatku tak mungkin untuk
berenang”. Tuturnya.

Di masa tahun 2015 hingga tahun ini Masuk ke kompleks PG Tjepiring tergolong
agak sulit karena manajemen yang mengelolanya yaitu PT IGN ketat menyeleksi siapa saja
yang tak berkepentingan dilarang masuk, maklum banyak aset disana yang harus dijaga ,
namun tak kurang akal, saat hari Minggu tiba saya bisa masuk karena saat itulah kolam
renang terbuka untuk umum, saya bisa bernostalgia mengenang masa kecil saat bisa dengan
leluasa bermain di area PG ini


Melangkahkan kaki kedalam area kolam renang, nampak jalan setapak yang
berpaving rapi dan tumbuhan Kelapa Sawit serta pohon Majapahit rimbun menaungi ,
sesampai di kolam serombongan anak terlihat senang berenang dengan berbagai gaya, ada
yang memang bisa berenang dengan gaya dada, gaya katak, tapi sebagian besar lain malah
ada yang pake gaya batu alias ketika nyemplung langsung tenggelam.
Imajinasi saya melompat ke sekian abad lalu , mungkin saat itu di kolam renang yang
berbentuk Hemespherical dengan tegel lantai yang indah serupa marmer, air yang segar dan
cuaca yang panas membuat beberapa Noni dan Sinyo Belanda bersantai sambil menikmati
Jenewer dari gelas besar dengan Es Batu yang menetes netes, sembari menyesap Jenewer
sesekali asap cerutu dari bahan tembakau Tjepiring yang ringan untuk klobotnya dan
tembakau Srintil Temanggung yang berat untuk isiannya mengepulkan asap yang membuat
langit menjadi sedikit tersaput warna biru, tulisanku terasa mirip dengan deskripsinya Simon
Winchester saat melukiskan kehidupan masyarakat Belanda di Nusantara di bukunya yang
berjudul “Krakatau”.

Mengenang kejayaan PG Tjepiring tak bisa dilepaskan dari sebuah tradisi bernama “
Wiwitan” , Berpuluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun lamanya masyarakat di
Kabupaten Kendal pernah menikmati sebuah tradisi pesta rakyat yang dinamakan “Wiwitan
“ sebuah kata yang berasal dari kalimat “Wiwit “ yang artinya permulaan.
Ya, memang tradisi Wiwitan ini adalah sebuah tradisi berwujud sebuah pasar rakyat
atau lebih akrab dinamakan pasar malam yang diselenggarakan pihak Pabrik Gula (PG)
Cepiring untuk menandai awal atau permulaan proses penggilingan tebu di pabrik gula satu
satunya di Kabupaten Kendal ini.

Prosesi Wiwitan ini sendiri tergolong unik dimana didahului dengan acara pawai dan
arak arakan Penganten Tebu berupa simbol dua batang tebu yang didandani layaknya
sepasang suami istri , biasanya melibatkan kesenian lokal seperti Barongan, Jaran Eblek dan
Dawangan yang berada di baris depan mengawal seekor kerbau yang akan disembelih dan
kemudian kepalanya ditanam di bawah Krosteen atau cerobong asap berukuran raksasa yang
merupakan Ikon kota Cepiring sejak jaman penjajahan Belanda.

Setelah ritual penguburan kepala Kerbau tersebut kemudian selama kurang lebih
seminggu masyarakat akan dihibur oleh sebuah event pasar malam yang meriah dan ramai
untuk ukuran jaman itu , ambil sampel ditahun 1985 an ketika penulis masih duduk di bangku
Sekolah Dasar, kami para bocah selalu menunggu adanya pesta rakyat ini, disamping melihat
kesenian Barongan, kami selalu terpesona dengan sejumlah mitos yang ada di seputar pabrik
gula itu seperti sepasukan Hantu Tentara Belanda yang gentayangan ditengah malam
menemui para pengunjung Wiwitan atau cerita tentang Hantu Noni Belanda cantik di lokasi
Gedung besar yang konon sempat menjadi markas tentara Belanda dan bahkan hantu bule
yang berpakaian compang camping di bangunan SD Negeri 3 Cepiring dulunya menurut
hikayat adalah merupakan Rumah Sakit Jiwa bagi orang Belanda yang tertekan karena
perang dan sebab yang lain, cerita mistis yang tak jelas ujung pangkalnya membuat acara
Wiwitan menjadi lebih seru dan menarik bagi kami yang saat itu tak begitu akrab dengan
televisi dan film kartun

Pasar malam itu sendiri sebagaimana pasar malam yang ada di Kabupaten Kendal saat ini namun sangat jauh lebih meriah, ketika itu menjelang saat sore tiba saya masih ingat
ratusan orang dari desa desa di hampir seluruh Kabupaten Kendal dengan mengendarai
sepeda atau angkutan umum berupa mobil minibus yang penuh sesak bercampur baur antara
bau solar, keringat , dan onggokan karung berisi bunga Melati dari daerah Sukorejo dan
sekitarnya serta

Menjelang Isya warga yang datang semakin bertambah banyak terutama di hari
pertama dan terakhir Wiwitan, suasana hingar bingar dari para tukang parkir sepeda,karena
jaman itu alat transportasi utama adalah sepeda , ditambah dengan riuhnya para penjual buah
Duku dan Salak ,entah kenapa di setiap Wiwitan saya selalu menjumpai penjual buah Duku
ini padahal saat itu mungkin bukan musimnya, penjual makanan seperti Martabak dan Bolang
Baling, pedagang mainan tradisional seperti Otok-Otok yaitu semacam Kaleng yang diberi
roda,diatasnya ditempelkan kayu berbentuk seperti kepala ayam jago dan dibawahnya
diantara as roda kayu itu diberi karet yang tengahnya diberi potongan kayu sehinga ketika
bilah bambu yang berfungsi sebagai pendorong didorong maka akan berbunyi
otok..otok..otok.., lalu ada juga penjual mainan Kapal Uap terbuat dari seng dimana didalam
“Kabin” kapal kaleng itu diberi semacam bahan bakar terbuat dari Kapas yang dicelupkan
kedalam minyak kelapa, ketika sudah panas maka kapal itu akan bergerak maju dengan
sendirinya dan mengeluarkan suara yang khas dan aroma minyak yang niscaya akan selalu
terkenang sepanjang masa , para bakul itu dari pintu depan berjejer memenuhi jalan beraspal
yang ada di kompleks PG Cepiring sepanjang mungkin dalam radius 4 Kilometer jika diukur
keseluruhannya menjadi sebuah simbiosis dengan para pebisnis wahana permainan seperti
Tong Stand atau yang diplesetkan oleh lidah orang Kendal menjadi Tong Setan yaitu
pertunjukan ketrampilan menaiki motor Trail yang mampu menaiki semacam panggung
raksasa berbentuk seperti Tong terbuat dari kayu, ada lagi Jinontrol sebuah wahana
permainan berbentuk seperti kincir air yang bisa ditumpangi sekitar 20 orang bergerak dari
bawah keatas, dan percayalah ketika saya mencobanya begitu sampai diatas paling puncak
yang mungkin 40 meter dari atas tanah , rasanya hati ini deg degan kenceng banget ,
membayangkan seandainya as pemutar roda raksasa ini lepas dan kami semua ikut
menggelinding bersama Jinontrol itu seperti puluhan ekor Hamster tak berdaya terkurung di
kotak besi yang bentuknya mirip jok becak, sungguh pengalaman yang mendebarkan, jika
Jinontrol bergerak dari bawah ke atas, lain lagi dengan Ombak Banyu dan Dermolen wahana
ini relatif aman,karena gerakannya memutar melingkar dan kami para bocah dimanjakan
dengan hanya duduk di atas Kayu berbentuk Kuda dan terkadang gajah atau mobil, tadinya
saya kira Dermolen itu digerakkan oleh mesin namun sebuah kejadian ketika saya melirik
tak sengaja ke samping, ternyata “Mesin” itu adalah berupa tenaga manusia para pekerja
dermolen yang dengan penuh semangat mendorong dermolen itu hingga berputar selama
mungkin seharian penuh.sebuah pekerjaan yang berat, tapi dasar kami para anak anak mana
mengerti tentang penderitaan para pekerja dermolen itu,tawa kami ternyata berlandaskan
keringat para pendorong dermolen, sebuah ironi yang tak terlihat diantara kegembiraan.
Jika anak anak punya tujuan mulia ingin menikmati suasana wiwitan dan
menghabiskan uang saku dari orang tuanya dengan membeli Bolang Baling, Arum manis,
dan berbagai jajan serta mainan, lain lagi dengan ” modus “ para pelaku kriminal yang
seiring dengan datangnya berbagai kesempatan empuk para pengunjung dari pedesaan yang
cenderung narsis dan percaya diri banget memakai perhiasan seperti kalung ,gelang, cincin
dan bahkan gelang kaki yang mencorong dan bergelantungan seakan etalase toko emas
berpindah ke tubuhnya, menjadi sasaran para Copet dan Jambret yang membaur bersama para
penikmat Wiwitan, kalo dah begini, yang repot pasti para Wakeer alias Satpam Pabrik Gula
menerima pengaduan para korban copet yang tak jarang menangis histeris ditonton
kerumunan pengunjung yang mungkin menganggapnya sebagai bagian dari kemeriahan
Wiwitan.

Masih jelas tercetak dalam ingatan saya , tak hanya anak anak dan para pencopet yang
menganggap moment Wiwitan sebagai ajang panen kemeriahan setahun sekali, para remaja
dan para “Jomblo” alias pria dan wanita kesepian yang barusan putus cinta atau belum
menemukan jodoh acap menjadikan Wiwitan sebagai aksi unjuk eksistensi diri demi meng
“gebet” sang pujaan hati, biasanya para jomblo itu berangkat agak gasik (Awal-red ) berjalan
ramai ramai menikmati nuansa sore ditingkahi indahnya lingkungan pabrik gula
membayangkan diri menjadi rombongan Romeo dan Mercutio yang menanti Julietnya datang
mendekat di sepanjang jalan yang dapat dinikmati sebagai jalur alternatif atau jalan pintas
menuju desa di sekitarnya, jalan PG Cepiring hingga saat ini memang tergolong jalan paling
romantis karena di tepinya tumbuh pohon flamboyan dan Cemara Angin yang membuat
teduh dan indah, ditingkahi kicauan burung gereja di atap atap bangunan bergaya Gothic
yang dibangun oleh Kompeni Belanda sejak jaman penjajahan.
Bagi para penikmat musik Dangdut yang merasa harus menumpahkan adrenalinnya
dengan cara berjoget sepuas hati, ajang perjogetan ini mendapat porsi tersendiri dari
panitia , di lapangan samping kanan Gedung Besar yang luas itu berdiri sekitar dua atau tiga
panggung yang tertutup rapat dengan Papan Kayu atau Seng, secara vulgar didepannya
terdapat baliho atau spanduk berlukiskan para penyanyi wanita dengan pose yang “berani”
samar samar masih terbayang grup yang sering manggung disana itu adalah Ken Dedes dan
Kelana Karya, pengunjungnya berjubel dan tentu saja hukum kala itu tak seketat sekarang
bau minuman menguar dari para pejoget yang kelebihan tenaga,ngosek kesana kemari,
bersenggolan dengan sesama pengunjung bahkan sampai baku pukul tak terhindarkan, dari
ajang inilah mungkin tercetus sebuah rivalitas abadi antara para pemuda Desa Sidomulyo dan
grup Kermitj alias Kelompok Remaja Militan Tjepiring terjadi dan menimbulkan fenomena
permusuhan antar desa yang melegenda di sekitar tahun 80 an hingga pertengahan 90an.
Kejayaan Pabrik Gula Cepiring membawa imbas manis bagi para penduduknya saat
itu, banyak pemuda desa yang bekerja disana, jarang ada pengangguran, setiap pagi sekitar
jam 6 terdengar bunyi yang kami sebut Singal (Dari Kata Signaal-Red) kami merindukan
setiap pagi adda Langes atau sisa pembakaran tebu menjadi gula bentuknya hitam mirip
arang tapi ringan seukuran bulir padi menyebar dengan bau manis disekitar atap rumah kami
saat itu, tak ada yang protes tak ada yang rewel karena kami sadari Langes itulah yang
membuat kehidupan ekonomi berjalan lancar , hingga sekitar tahun 1997 semua cerita
tentang Wiwitan menjadi sebuah irisan kenangan yang akan lama terindukan, sebab tahun itu
PG Cepiring Bangkrut banyak tenaga musiman dan karyawan diberhentikan dan dirumahkan.
Satu per satu karyawan yang meninggalkan perumahan berarsitektur Belanda yang ada di
lingkungan pabrik. Saat itu tinggal sedikit karyawan yang masih dipertahankan oleh
manajemen pabrik untuk mengurus keberadaan pabrik yang tidak beroperasi lagi.
Tak ada lagi kemeriahan dan wajah gembira para pekerja yang berangkat kerja
diiringi derai suara Singal, tak ada lagi Langes dan bahkan ribuan ton rel kereta api
peninggalan Belanda milik PG Cepiring juga tak jelas kemana larinya, kami kembali
merindukan Lokomotif berwarna hijau yang rajin mengeluarkan jeritan Nguik nguiknya
ketika mengangkut puluhan lori tebu, kami para bocah saat itu senang sekali menumpang di
Lokomotif hijau itu, favorit saya adalah Loko nomer 9 , mengingatkan saya pada Michel
Platini pesepak bola Brilliant dari Prancis,sementara mas Henggar dan mas Untung dua
sepupu saya suka nomer 6, tanpa aku tau alasannya. Perjalanan menumpang loko itu jelas
penuh resiko,kami bertualang menjelajah desa kearah Desa Gemuh, Pegandon, Putat, hingga
Kendal kota ditemani semilir angin pembakaran ampas tebu yang digunakan sebagai bahan
bakar Loko hijau itu, menikmati nuansa pedesaan melihat bangau yang mencari kodok kecil
diantara langkah para petani yang sedang menanam padi, sebuah memori yang akan
membekas seumur hidup nampaknya.

Setelah sekian lama tutup tak beroperasi Tahun 2008 PG Cepiring resmi beroperasi
lagi, namun jika dulu tradisi Wiwitan menjadi momen berharga, megah dan juga
kebanggaan, kini hanya tinggal kenangan. Wiwitan di tahun 2008 ini digelar di lokasi yang
sangat sempit yaitu di lapangan sepak bola miris karena ibarat petinju turun dari kelas berat
menjadi kelas ringan, bahkan super ringan, ibarat penyanyi yang terbiasa pentas di Las Vegas
kini harus berdendang di panggung Tarkam alias antar kampung, lebih memprihatinkan lagi
Wiwitan yang dulu adalah pasar Rakyat di tahun itu berubah jadi ajang bisnis remeh temeh
pihak pabrik gula yang kini dikuasai oleh swasta, lokasi dipagari terpal rombeng dan harus
membayar karcis Rp 3.000/ orang untuk bisa memasuki lokasi. Inilah realitas yang barangkali
bagi kalangan berada tak begitu berarti. Namun bagi kalangan rakyat kecil untuk
menyaksikan sebuah tradisi yang dibanggakan itu harus dibebani biaya.
Pelaksanaan Wiwitan di bulan juli 2009 sudah mulai ada perubahan , warga
sudah tak dipungut biaya lagi , tak ada terpal rombeng yang menurunkan kelas Wiwitan
sebagai tontonan megah rakyat Kendal, pergelaran wayang kulit pun digelar, namun inilah
mungkin kesalahan fatal dari pihak PG Cepiring,entah berkaitan atau tidak, setelah nanggap
wayang ini direktur utama PG Cepiring lengser dari jabatannya, syahdan menurut mitosnya
di Cepiring adalah tempat yang konon pamali untuk nanggap wayang kulit, menurut Mbah
Sastro Atmojo mantan Lurah Cepiring yang mengalami masa masa penjajahan dan mulai
jadi Lurah di era orde lama dan sempat menjabat di era orde baru, pernah suatu ketika ada
juragan menggelar acara wayang kulit, tak lama ada badai dan angin ribut menghantam desa
ini, sejak saat itu tak ada lagi yang berniat menanggap wayang kulit, sebagai gantinya
kesenian tradisional Barongan yang tergabung dalam grup PBKC alias Persatuan Barongan
Kelurahan Cepiring semakin eksis dan berkembang, namun sayangnya Media massa yang
secara masif menayangkan perhelatan itu baik TV ataupun Koran hanya fokus masalah
prosesi arak arakan penganten tebunya, tanpa ada esensi mengulas betapa tradisi ini sudah
melekat di benak warga Cepiring selama puluhan tahun.

Jika tak ada langkah dari pemerintah dan pemerhati budaya untuk melestarikan
bangunan PG Tjepiring, menjalankan roda produksi pabrik gula ini sekaligus menghidupkan
kembali tradisi wiwitan , maka akan terjadi sebuah kepunahan budaya sekaligus
terlupakannya sebuah peninggalan budaya dan karya seni arsitektur yang ada di area pabrik
ini, sebuah tugas berat menanti kami para generasi muda tanah Tjepiring , apakah kami
mampu melestarikan peninggalan ini ditengah gempuran kapitalisme ekonomi yang kian
menghebat atau kami mampu mensiasatinya hingga mampu menjadi sebuah objek wisata
yang pada akhirnya akan menjadi sebuah sumber daya ekonomi dan pariwisata alternatif
dengan menyasar pangsa pasar turis dari Belanda, hanya waktu yang akan menjawab dan
membuktikannya.

Penulis : Aryo Widiyanto, Penikmat Sejarah, Pelestari Foto Kuno, Traveller , Backpacker,
Photograper, Blogger di: aryowidiyanto.blogspot.com , twitter di @aryowidi , dan Jurnalis
Serta Pegawai Negeri Sipil Yang Punya Akun Facebook dan Instagram: Aryo Widiyanto.
.