Menikmati Cerutu Cepiring di Mukti Cafe Semarang.
Tembakau (Nicotiana Tabaccum) menjadi sebuah eksotika tersendiri saat
menikmatinya, lepas dari pro dan kontra dari berbagai segi misalnya kesehatan
dan cukai , kali ini saya hanya akan membahasnya dari sisi wisata dan kecintaan
terhadap komoditas legendaris ini.
Sedikit sejarah yang saya petik dari booklet “Blend
Of Indonesian Heritage Tobacco” tahun 1820 para pengusaha Belanda mulai
membuka perkebunan tembakau di wilayah
kolonial seperti Jawa dan Sumatera, merambah hingga wilayah kerajaan Surakarta
dan Jogjakarta, sepuluh tahun kemudian Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Den
Bosch menerapkan kebijakan politik tanam paksa atau cultuurstelsel kepada
petani dan pengusaha di sekitar Semarang,Jawa Tengah untuk menanam tembakau,
1840 hingga 1940 terjadi peningkatan produksi tembakau diantaranya di daerah
Klaten, Kedu, Semarang Kediri dan Besuki.
Tahun
1903 seorang oemuda Tiongkok dari Provinsi Xiamen bernama Yap Sing Tjay datang
ke Semarang melalui Singapura dengan menumpang kapal Gian Ann dan bekerja
sebagai kuli, kemudian Yap muda berjualan tembakau yang diwadahi bumbung bambu
berkeliling jalan kaki masuk keluar kampung , keuletan Yap membuahkan hasil
manis, bisnisnya mulai berkembang keberbagai kota di nusantara, keahlian Yap ini
diturunkan ke dua putranya yaitu Bram Mukti Agung, Tahun 1958 dari kolaborasi
bapak anak ini berdirilah toko tembakau “Soei An Tabaks” di jalan Kranggan
Timur 2A, yang sekarang menjadi jalan Wahid Hasyim, hingga tahun 1968 atas
himbauan pemerintah orde baru berganti nama menjadi toko tembakau “Mukti”tahun
ini pula Bram Mukti Agung mewariskan
usaha tembakau ecerannya kepada Kusuma Atmaja Agung , yang hingga tahun 2016
ini melestarikan dan melambungkan Toko tembakau Mukti dengan berbagai produknya
merambah pasar Internasional dari mulai kawasan Asia hingga Dubai, Uni Emirat
Arab.
Bagi Om
Agung, sapaan akrab Pak Kusuma Atmaja Agung, meracik tembakau adalah sebuah
seni tersendiri, mulai dari memilih daun yang pas, hingga memproses fermentasi
yang membutuhkan waktu tiga tahun dan terakhir
berbagai racikan itu menjadi sebuah produk Cerutu bercitarasa
internasional di tokonya yang ditransformasi menjadi sebuah Cafe bernama Mukti
Cafe.
Cafe
ini benar benar bernuansa oriental nusantara, begitu masuk kita akan disambut
sebuah cangklong tembakau dan aneka variasi tembakau aneka rasa dalam stoples
raksasa berjumlah puluhan, saya bersama senior saya sebut saja bang Galuh
Taruna dan Pak Budi, dituntun oleh Om Agung sendiri menuju lantai dua, sebuah
kehormatan tersendiri disambut sang legenda pertembakauan Indonesia di tokonya.
Duduk
di antara para para barista yang rata rata mahasiswa, saya dan Bang GT terpana
dengan aneka rokok dan cerutu yang ada, sejumlah cerutu dihidangkan didepan
kami, saya tersentak dan nyaris mengalirkan air mata terharu, salah satu Cerutu
itu ber Merk “CERUTU CEPIRING” ,Cepiring adalah nama desa kelahiran saya, leher saya seperti tercekat, tak berani memandang om Agung atau Bang GT,
karena mereka pasti akan tau kalo mata saya memerah karena menahan haru, “
Cerutu Cepiring ini adalah saya ambil dari nama desa Cepiring di Kabupaten
Kendal, saya mencintai Kendal, utamanya Weleri dan Cepiring serta beberapa
wilayah lainnya karena disanalah masa kecil saya tumbuh, belajar dagang dan
belajar menyesap rasa dan aroma tembakau, dalam waktu dekat saya akan membuka
usaha di Kendal Jawa Tengah, doakan
perijinan lancar” papar om Agung, Kami mengamini.
Saya
mencoba beberapa varian lain Cerutu dan Rokok, padahal sudah setahun saya berhenti
merokok, tapi demi sebuah sejarah maka puasa rokok saya batal malam itu. Rasa cerutunya ada yang soft dan berat, namun
salah satu istimewanya adalah rasanya adem, tidak “Nyenggrak” dan tidak membuat
pedih tenggorokan, enak sekali, ditemani secangkir kopi hitam, Moachi, Singkong
Goreng, maka kami menyesap cerutu itu sembari membayangkan menjadi figur impian
masing masing, setiap hembusan asap membawa mimpi kami terbang dan semoga
menjadi nyata suatu masa nanti.
“
Cerutu dan rokok yang saya buat berasal dari bahan bakunya yang sangat
terpilih, terbuat dari daun tembakau “Tengah “ yaitu hanya yang tumbuh ditengah
, bukan daun di pucuk atau di bawah, dengan tehnik fermentasi khusus dan butuh
waktu bertahun tahun untuk bisa dihidangkan dalam bentuk sebuah cerutu” terang
Om Agung.
Om
Agung ini sangat tinggi jiwa nasionalisme nya, beliau tidak mau menamai
produknya memakai nama kebarat baratan, nyaris semua nama produknya adalah
bahasa Indonesia atau Jawa, “ Dulu kakek saya di Kendal menciptakan sebuah produk
rokok bernama “Tak Lelo Lelo Ledhung” yang artinya menina bobokan anak,
kemasannya ada gambar ibu sedang menimang bayi, hingga saat ini saya terkesan
dengan itu, makanya semua nama produk saya adalah nama Indonesia” ucapnya, oh,
wait, saya jadi ingat, jangan jangan lagu Tak Lelo Lelo Ledhung yang legendaris
itu awalnya adalah tagline atau lagu tema produk rokok sang kakeknya Om Agung
ini?.
Produk
Cerutu racikan om Agung ini sudah kelas Internasional, dirinya dekat dengan
sejumlah Emir di Dubai dan sejumlah kolega di Asia karena mereka mengakui
ciamiknya rasa cerutu seperi Cerutu Agung, Rokok Kentana, Cerutu Cepiring dll, jadi,
jika Internasional saja menghargai produk yang dihasilkan dari daun Tembakau
asal Kendal, kenapa kita warga Kendal malah bahkan gak tau keistimewaan hasil
bumi kita? Malah om Agung yang Notabene warga Semarang getol mempromosikan
tembakau Kendal?
Jika ingin menikmati sebuah
citarasa berkelas internasional maka datanglah ke Cafe Mukti milik Om Agung
ini, letaknya gak sulit, berkendaralah arah Pasar Johar, tanya siapa saja arah
Pecinan, maka di depan gerbang Pecinan itu berdiri Cafe Mukti, alamat lengkapnya Jalan KH Wahid
Hasyim 2A, Johar , Semarang Jawa Tengah, No Telpon 024 3541843.
(Aryo Widiyanto Aryo Widiyanto, Journalist, Traveller ,
Backpacker, , Photographer, dan Abdi Negara, Blogger di
aryowidiyanto.blogspot.com. Twitter di @aryowidi , Facebook
:Aryo Widiyanto, email di : aryo_widi@yahoo.co.id. Address: Jl Sriagung 234
Cepiring Kendal Jawa Tengah Indonesia)