PG Tjepiring
Kekayaan
Sejarah Jembatan Dua Bangsa Yang Nyaris Terlupakan
Kota
Cepiring Kendal Jawa Tengah yang terletak di jalur Pantura yang
menghubungkan
tiga provinsi yaitu Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur telah lama
terkenal
karena kekayaan peninggalan bangunan dari jaman penjajahan Belanda, yang paling
mencolok
adalah keberadaan Krosteen atau menara bulat yang menjulang bertuliskan PG
Tjepiring
1835 , angka tersebut diyakini adalah tahun diresmikannya Pabrik Gula (PG)
tersebut.
PG Tjepiring
adalah saksi bisu terjalinnya interaksi dua bangsa yaitu Belanda dan
Indonesia
yang kala itu disebut Hindia Belanda , pabrik ini bisa disebut jembatan yang
mempertemukan
kepentingan ekonomi, budaya dan kultur antara Tjepiring sebagai bagian
dari
Nusantara dan Belanda sebagai bagian dari entitas Eropa, peninggalan para
Hollander,
sebutan
untuk orang Belanda ,yang memperkaya khasanah kehidupan warga Cepiring hingga
sekarang
diantaranya adalah puluhan bangunan bercorak Eropa dengan gaya Gothic ditandai
dengan
jendela berukuran besar dan tembok yang kokoh masih berdiri hingga saat ini,
selain
itu budaya
pernikahan campuran antara orang Belanda dan orang Jawa juga terjadi di
lingkungan
sekitar pabrik gula, citarasa kuliner tak ketinggalan ikut terpengaruh dengan
hadirnya
hidangan seperti kue Poffertjees dan Sup Snerek atau Sup Kacang merah yang
dimodifikasi
sesuai lidah warga lokal.
Krosteen
atau menara pabrik itu konon menurut Agus Budhi Darmawan , seorang
Bankir yang
merupakan putra dari Lurah Gemuh dan keponakan dari Lurah legendaris
Tjepiring
yaitu Mbah Sastro Atmojo yang menjadi Kepala Desa sejak jelang berakhirnya
jaman
Belanda, peralihan ke Jaman Jepang dan terakhir memimpin Tjepiring di era Orde
Baru, Budhi
kepada penulis menuturkan bahwa menurut mbah Lurah Sastro , bentuk menara
itu adalah
mengadopsi dari bentuk “Pantongan” atau Kentongan yang biasa dipakai oleh para
penduduk
lokal untuk ronda malam menjaga keamanan, inspirasi dari alat yang terbuat dari
potongan
bambu bulat dan dipukul berbunyi khas itulah yang membuat para arsitek Belanda
jaman itu
terinspirasi dan menjadikannya sebagai bentuk krosteen yang tetap berdiri
hingga
kini.
Selain
Krosteen, salah satu bagian dari pabrik ini yang mempunyai kenangan sejarah
adalah
sebuah bangunan
bernama “Gedung Soos” , seorang warga Belanda bernama Leonie Van
Daalen yang
semasa kecilnya pernah tinggal di PG Tjepiring menulis sebuah artikel berjudul
Militarie in
Tjepiring , dicuplik dari laman https://javapost.nl/2013/04/15/the-military-in-
tjepiring/,
Leonie menulis:
“Sejak
kemerdekaan Indonesia dideklarasikan .militer Belanda tak lagi
dibutuhkan
untuk patroli atau mendamaikan area dimana mereka ditugaskan, perwira tetap
menjaga
pasukannya dengan latihan militer dan kompetisi, beberapa belajar berenang
sementara
tinggal di perkebunan kami, kami melihat mereka berbaris melingkar berlomba
berenang,
sepeda atau lomba lari, atau para pemuda yang bergelantungan diantara dua pohon
Selama
pelatihan,ada seorang prajurit yang jatuh kesungai yang membentang di Cepiring
(Sungai
Bodri?) , sesuatu selalu terjadi . Kemudian saat mereka punya banyak waktu
mereka
akan
berteman dengan pegawai perkebunan dan keluarganya, semua adalah alasan untuk
makan malam,
Rijsttafel atau dansa.
Di hari
Natal St Nicolas tidak datang tahun ini dengan kuda putihnya, tapi dia dan
Black Peter
datang ke Tjepiring dengan naik Tank, mereka menerima anak anak dan remaja
di gedung
Soos, saat Black Peter mengerjai semua orang dengan ulahnya “ .
Dari tulisan
Leonie Van Daalen ini ada sebuah pesan yang tersirat bahwa pabrik gula
ini
merupakan aset yang sangat penting bagi Belanda karena dilihat dari segi
pengamanan
dan
penjagaannya saja didatangkan satu Batalyon Brigade Tijger yang merupakan salah
satu
pasukan
khusus yang dimiliki oleh Belanda, hingga kini Gedung Soos masih berdiri dan
tak
banyak
mengalami renovasi, salah satu bagian yang menjadi ciri bangunan Belanda yaitu
terasnya
yang terbuka juga tak dihilangkan oleh penguasa pribumi .
Secara
kultural orang Belanda sangat menyukai berenang dan berendam di kolam
yang dibuat
di area tempat tinggalnya untuk menyegarkan badan ditengah panasnya udara
disekitar
komplek pemukiman mereka , begitu juga di PG Tjepiring, ada sebuah kolam
renang besar
yang konon sudah ada sejak pertama pabrik ini berjalan, letaknya juga tak
berubah
yaitu di pojok utara dekat lapangan sepakbola , masih mereferensi tulisan dari
Leonie Van
Daalen yang bertahun 1937, di beberapa paragrafnya gadis Belanda jaman itu
mengenang
sebagai berikut :
“ Ketika
saya dan Anny melangkah lewat emplasemen mereka dalam perjalanan menuju kolam
renang diujung Tjepiring, siulan bersahutan menyapa kami, pertamanya kami
sangat malu melihat banyak pemuda hanya mengenakan celana renang, diluar semua
jendela para pria itu bergelantungan, mencoba mendapatkan perhatian kami dengan
memanggil, “Hei
Nona” atau
bersuit, beberapa keluar dari asrama dan membentuk sebuah grup lalu mengikuti
kami ke
kolam renang, disana saya cepat pergi ke kamar ganti untuk mengganti baju
renang
sambil
berharap para lelaki itu pergi,tapi, mereka tetap berdiri mengitari kolam
menunggu
kami,akhirnya
saya jadi tak sabar, tapi Anny menolak meninggalkan kabin, saya membuka
pintu kabin
, lari ke kolam dan berendam, pada saat itu sekitar sepuluh pemuda juga
melompat ke
kolam, diikuti oleh pandemonium bagi beberapa prajurit yang tak bisa renang .
jadilah
kemudian semakin banyak pemuda yang melompat untuk menolong yang
membutuhkan
, beberapa diantaranya mendekatiku, membuatku tak mungkin untuk
berenang”.
Tuturnya.
Di masa
tahun 2015 hingga tahun ini Masuk ke kompleks PG Tjepiring tergolong
agak sulit
karena manajemen yang mengelolanya yaitu PT IGN ketat menyeleksi siapa saja
yang tak
berkepentingan dilarang masuk, maklum banyak aset disana yang harus dijaga ,
namun tak
kurang akal, saat hari Minggu tiba saya bisa masuk karena saat itulah kolam
renang
terbuka untuk umum, saya bisa bernostalgia mengenang masa kecil saat bisa
dengan
leluasa
bermain di area PG ini
Melangkahkan
kaki kedalam area kolam renang, nampak jalan setapak yang
berpaving
rapi dan tumbuhan Kelapa Sawit serta pohon Majapahit rimbun menaungi ,
sesampai di
kolam serombongan anak terlihat senang berenang dengan berbagai gaya, ada
yang memang
bisa berenang dengan gaya dada, gaya katak, tapi sebagian besar lain malah
ada yang
pake gaya batu alias ketika nyemplung langsung tenggelam.
Imajinasi
saya melompat ke sekian abad lalu , mungkin saat itu di kolam renang yang
berbentuk
Hemespherical dengan tegel lantai yang indah serupa marmer, air yang segar dan
cuaca yang
panas membuat beberapa Noni dan Sinyo Belanda bersantai sambil menikmati
Jenewer dari
gelas besar dengan Es Batu yang menetes netes, sembari menyesap Jenewer
sesekali
asap cerutu dari bahan tembakau Tjepiring yang ringan untuk klobotnya dan
tembakau
Srintil Temanggung yang berat untuk isiannya mengepulkan asap yang membuat
langit
menjadi sedikit tersaput warna biru, tulisanku terasa mirip dengan deskripsinya
Simon
Winchester
saat melukiskan kehidupan masyarakat Belanda di Nusantara di bukunya yang
berjudul
“Krakatau”.
Mengenang
kejayaan PG Tjepiring tak bisa dilepaskan dari sebuah tradisi bernama “
Wiwitan” ,
Berpuluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun lamanya masyarakat di
Kabupaten
Kendal pernah menikmati sebuah tradisi pesta rakyat yang dinamakan “Wiwitan
“ sebuah
kata yang berasal dari kalimat “Wiwit “ yang artinya permulaan.
Ya, memang
tradisi Wiwitan ini adalah sebuah tradisi berwujud sebuah pasar rakyat
atau lebih
akrab dinamakan pasar malam yang diselenggarakan pihak Pabrik Gula (PG)
Cepiring
untuk menandai awal atau permulaan proses penggilingan tebu di pabrik gula satu
satunya di
Kabupaten Kendal ini.
Prosesi
Wiwitan ini sendiri tergolong unik dimana didahului dengan acara pawai dan
arak arakan
Penganten Tebu berupa simbol dua batang tebu yang didandani layaknya
sepasang
suami istri , biasanya melibatkan kesenian lokal seperti Barongan, Jaran Eblek
dan
Dawangan
yang berada di baris depan mengawal seekor kerbau yang akan disembelih dan
kemudian
kepalanya ditanam di bawah Krosteen atau cerobong asap berukuran raksasa yang
merupakan
Ikon kota Cepiring sejak jaman penjajahan Belanda.
Setelah
ritual penguburan kepala Kerbau tersebut kemudian selama kurang lebih
seminggu
masyarakat akan dihibur oleh sebuah event pasar malam yang meriah dan ramai
untuk ukuran
jaman itu , ambil sampel ditahun 1985 an ketika penulis masih duduk di bangku
Sekolah
Dasar, kami para bocah selalu menunggu adanya pesta rakyat ini, disamping
melihat
kesenian
Barongan, kami selalu terpesona dengan sejumlah mitos yang ada di seputar
pabrik
gula itu
seperti sepasukan Hantu Tentara Belanda yang gentayangan ditengah malam
menemui para
pengunjung Wiwitan atau cerita tentang Hantu Noni Belanda cantik di lokasi
Gedung besar
yang konon sempat menjadi markas tentara Belanda dan bahkan hantu bule
yang
berpakaian compang camping di bangunan SD Negeri 3 Cepiring dulunya menurut
hikayat
adalah merupakan Rumah Sakit Jiwa bagi orang Belanda yang tertekan karena
perang dan
sebab yang lain, cerita mistis yang tak jelas ujung pangkalnya membuat acara
Wiwitan
menjadi lebih seru dan menarik bagi kami yang saat itu tak begitu akrab dengan
televisi dan
film kartun
Pasar malam
itu sendiri sebagaimana pasar malam yang ada di Kabupaten Kendal saat ini namun
sangat jauh lebih meriah, ketika itu menjelang saat sore tiba saya masih ingat
ratusan
orang dari desa desa di hampir seluruh Kabupaten Kendal dengan mengendarai
sepeda atau
angkutan umum berupa mobil minibus yang penuh sesak bercampur baur antara
bau solar,
keringat , dan onggokan karung berisi bunga Melati dari daerah Sukorejo dan
sekitarnya
serta
Menjelang
Isya warga yang datang semakin bertambah banyak terutama di hari
pertama dan
terakhir Wiwitan, suasana hingar bingar dari para tukang parkir sepeda,karena
jaman itu
alat transportasi utama adalah sepeda , ditambah dengan riuhnya para penjual
buah
Duku dan
Salak ,entah kenapa di setiap Wiwitan saya selalu menjumpai penjual buah Duku
ini padahal
saat itu mungkin bukan musimnya, penjual makanan seperti Martabak dan Bolang
Baling,
pedagang mainan tradisional seperti Otok-Otok yaitu semacam Kaleng yang diberi
roda,diatasnya
ditempelkan kayu berbentuk seperti kepala ayam jago dan dibawahnya
diantara as
roda kayu itu diberi karet yang tengahnya diberi potongan kayu sehinga ketika
bilah bambu
yang berfungsi sebagai pendorong didorong maka akan berbunyi
otok..otok..otok..,
lalu ada juga penjual mainan Kapal Uap terbuat dari seng dimana didalam
“Kabin”
kapal kaleng itu diberi semacam bahan bakar terbuat dari Kapas yang dicelupkan
kedalam
minyak kelapa, ketika sudah panas maka kapal itu akan bergerak maju dengan
sendirinya
dan mengeluarkan suara yang khas dan aroma minyak yang niscaya akan selalu
terkenang
sepanjang masa , para bakul itu dari pintu depan berjejer memenuhi jalan
beraspal
yang ada di
kompleks PG Cepiring sepanjang mungkin dalam radius 4 Kilometer jika diukur
keseluruhannya
menjadi sebuah simbiosis dengan para pebisnis wahana permainan seperti
Tong Stand
atau yang diplesetkan oleh lidah orang Kendal menjadi Tong Setan yaitu
pertunjukan
ketrampilan menaiki motor Trail yang mampu menaiki semacam panggung
raksasa
berbentuk seperti Tong terbuat dari kayu, ada lagi Jinontrol sebuah wahana
permainan
berbentuk seperti kincir air yang bisa ditumpangi sekitar 20 orang bergerak
dari
bawah
keatas, dan percayalah ketika saya mencobanya begitu sampai diatas paling
puncak
yang mungkin
40 meter dari atas tanah , rasanya hati ini deg degan kenceng banget ,
membayangkan
seandainya as pemutar roda raksasa ini lepas dan kami semua ikut
menggelinding
bersama Jinontrol itu seperti puluhan ekor Hamster tak berdaya terkurung di
kotak besi
yang bentuknya mirip jok becak, sungguh pengalaman yang mendebarkan, jika
Jinontrol
bergerak dari bawah ke atas, lain lagi dengan Ombak Banyu dan Dermolen wahana
ini relatif
aman,karena gerakannya memutar melingkar dan kami para bocah dimanjakan
dengan hanya
duduk di atas Kayu berbentuk Kuda dan terkadang gajah atau mobil, tadinya
saya kira
Dermolen itu digerakkan oleh mesin namun sebuah kejadian ketika saya melirik
tak sengaja
ke samping, ternyata “Mesin” itu adalah berupa tenaga manusia para pekerja
dermolen
yang dengan penuh semangat mendorong dermolen itu hingga berputar selama
mungkin
seharian penuh.sebuah pekerjaan yang berat, tapi dasar kami para anak anak mana
mengerti
tentang penderitaan para pekerja dermolen itu,tawa kami ternyata berlandaskan
keringat
para pendorong dermolen, sebuah ironi yang tak terlihat diantara kegembiraan.
Jika anak
anak punya tujuan mulia ingin menikmati suasana wiwitan dan
menghabiskan
uang saku dari orang tuanya dengan membeli Bolang Baling, Arum manis,
dan berbagai
jajan serta mainan, lain lagi dengan ” modus “ para pelaku kriminal yang
seiring
dengan datangnya berbagai kesempatan empuk para pengunjung dari pedesaan yang
cenderung
narsis dan percaya diri banget memakai perhiasan seperti kalung ,gelang, cincin
dan bahkan
gelang kaki yang mencorong dan bergelantungan seakan etalase toko emas
berpindah ke
tubuhnya, menjadi sasaran para Copet dan Jambret yang membaur bersama para
penikmat
Wiwitan, kalo dah begini, yang repot pasti para Wakeer alias Satpam Pabrik Gula
menerima
pengaduan para korban copet yang tak jarang menangis histeris ditonton
kerumunan
pengunjung yang mungkin menganggapnya sebagai bagian dari kemeriahan
Wiwitan.
Masih jelas
tercetak dalam ingatan saya , tak hanya anak anak dan para pencopet yang
menganggap
moment Wiwitan sebagai ajang panen kemeriahan setahun sekali, para remaja
dan para
“Jomblo” alias pria dan wanita kesepian yang barusan putus cinta atau belum
menemukan
jodoh acap menjadikan Wiwitan sebagai aksi unjuk eksistensi diri demi meng
“gebet” sang
pujaan hati, biasanya para jomblo itu berangkat agak gasik (Awal-red ) berjalan
ramai ramai
menikmati nuansa sore ditingkahi indahnya lingkungan pabrik gula
membayangkan
diri menjadi rombongan Romeo dan Mercutio yang menanti Julietnya datang
mendekat di
sepanjang jalan yang dapat dinikmati sebagai jalur alternatif atau jalan pintas
menuju desa
di sekitarnya, jalan PG Cepiring hingga saat ini memang tergolong jalan paling
romantis
karena di tepinya tumbuh pohon flamboyan dan Cemara Angin yang membuat
teduh dan
indah, ditingkahi kicauan burung gereja di atap atap bangunan bergaya Gothic
yang
dibangun oleh Kompeni Belanda sejak jaman penjajahan.
Bagi para
penikmat musik Dangdut yang merasa harus menumpahkan adrenalinnya
dengan cara
berjoget sepuas hati, ajang perjogetan ini mendapat porsi tersendiri dari
panitia , di
lapangan samping kanan Gedung Besar yang luas itu berdiri sekitar dua atau tiga
panggung
yang tertutup rapat dengan Papan Kayu atau Seng, secara vulgar didepannya
terdapat
baliho atau spanduk berlukiskan para penyanyi wanita dengan pose yang “berani”
samar samar
masih terbayang grup yang sering manggung disana itu adalah Ken Dedes dan
Kelana
Karya, pengunjungnya berjubel dan tentu saja hukum kala itu tak seketat
sekarang
bau minuman
menguar dari para pejoget yang kelebihan tenaga,ngosek kesana kemari,
bersenggolan
dengan sesama pengunjung bahkan sampai baku pukul tak terhindarkan, dari
ajang inilah
mungkin tercetus sebuah rivalitas abadi antara para pemuda Desa Sidomulyo dan
grup Kermitj
alias Kelompok Remaja Militan Tjepiring terjadi dan menimbulkan fenomena
permusuhan
antar desa yang melegenda di sekitar tahun 80 an hingga pertengahan 90an.
Kejayaan
Pabrik Gula Cepiring membawa imbas manis bagi para penduduknya saat
itu, banyak
pemuda desa yang bekerja disana, jarang ada pengangguran, setiap pagi sekitar
jam 6
terdengar bunyi yang kami sebut Singal (Dari Kata Signaal-Red) kami merindukan
setiap pagi
adda Langes atau sisa pembakaran tebu menjadi gula bentuknya hitam mirip
arang tapi
ringan seukuran bulir padi menyebar dengan bau manis disekitar atap rumah kami
saat itu,
tak ada yang protes tak ada yang rewel karena kami sadari Langes itulah yang
membuat
kehidupan ekonomi berjalan lancar , hingga sekitar tahun 1997 semua cerita
tentang
Wiwitan menjadi sebuah irisan kenangan yang akan lama terindukan, sebab tahun
itu
PG Cepiring
Bangkrut banyak tenaga musiman dan karyawan diberhentikan dan dirumahkan.
Satu per
satu karyawan yang meninggalkan perumahan berarsitektur Belanda yang ada di
lingkungan
pabrik. Saat itu tinggal sedikit karyawan yang masih dipertahankan oleh
manajemen
pabrik untuk mengurus keberadaan pabrik yang tidak beroperasi lagi.
Tak ada lagi
kemeriahan dan wajah gembira para pekerja yang berangkat kerja
diiringi
derai suara Singal, tak ada lagi Langes dan bahkan ribuan ton rel kereta api
peninggalan
Belanda milik PG Cepiring juga tak jelas kemana larinya, kami kembali
merindukan
Lokomotif berwarna hijau yang rajin mengeluarkan jeritan Nguik nguiknya
ketika
mengangkut puluhan lori tebu, kami para bocah saat itu senang sekali menumpang
di
Lokomotif
hijau itu, favorit saya adalah Loko nomer 9 , mengingatkan saya pada Michel
Platini
pesepak bola Brilliant dari Prancis,sementara mas Henggar dan mas Untung dua
sepupu saya
suka nomer 6, tanpa aku tau alasannya. Perjalanan menumpang loko itu jelas
penuh
resiko,kami bertualang menjelajah desa kearah Desa Gemuh, Pegandon, Putat,
hingga
Kendal kota
ditemani semilir angin pembakaran ampas tebu yang digunakan sebagai bahan
bakar Loko
hijau itu, menikmati nuansa pedesaan melihat bangau yang mencari kodok kecil
diantara
langkah para petani yang sedang menanam padi, sebuah memori yang akan
membekas
seumur hidup nampaknya.
Setelah
sekian lama tutup tak beroperasi Tahun 2008 PG Cepiring resmi beroperasi
lagi, namun
jika dulu tradisi Wiwitan menjadi momen berharga, megah dan juga
kebanggaan,
kini hanya tinggal kenangan. Wiwitan di tahun 2008 ini digelar di lokasi yang
sangat
sempit yaitu di lapangan sepak bola miris karena ibarat petinju turun dari
kelas berat
menjadi
kelas ringan, bahkan super ringan, ibarat penyanyi yang terbiasa pentas di Las
Vegas
kini harus
berdendang di panggung Tarkam alias antar kampung, lebih memprihatinkan lagi
Wiwitan yang
dulu adalah pasar Rakyat di tahun itu berubah jadi ajang bisnis remeh temeh
pihak pabrik
gula yang kini dikuasai oleh swasta, lokasi dipagari terpal rombeng dan harus
membayar
karcis Rp 3.000/ orang untuk bisa memasuki lokasi. Inilah realitas yang
barangkali
bagi
kalangan berada tak begitu berarti. Namun bagi kalangan rakyat kecil untuk
menyaksikan
sebuah tradisi yang dibanggakan itu harus dibebani biaya.
Pelaksanaan
Wiwitan di bulan juli 2009 sudah mulai ada perubahan , warga
sudah tak
dipungut biaya lagi , tak ada terpal rombeng yang menurunkan kelas Wiwitan
sebagai
tontonan megah rakyat Kendal, pergelaran wayang kulit pun digelar, namun inilah
mungkin
kesalahan fatal dari pihak PG Cepiring,entah berkaitan atau tidak, setelah
nanggap
wayang ini
direktur utama PG Cepiring lengser dari jabatannya, syahdan menurut mitosnya
di Cepiring
adalah tempat yang konon pamali untuk nanggap wayang kulit, menurut Mbah
Sastro Atmojo
mantan Lurah Cepiring yang mengalami masa masa penjajahan dan mulai
jadi Lurah
di era orde lama dan sempat menjabat di era orde baru, pernah suatu ketika ada
juragan
menggelar acara wayang kulit, tak lama ada badai dan angin ribut menghantam
desa
ini, sejak
saat itu tak ada lagi yang berniat menanggap wayang kulit, sebagai gantinya
kesenian
tradisional Barongan yang tergabung dalam grup PBKC alias Persatuan Barongan
Kelurahan
Cepiring semakin eksis dan berkembang, namun sayangnya Media massa yang
secara masif
menayangkan perhelatan itu baik TV ataupun Koran hanya fokus masalah
prosesi arak
arakan penganten tebunya, tanpa ada esensi mengulas betapa tradisi ini sudah
melekat di
benak warga Cepiring selama puluhan tahun.
Jika tak ada
langkah dari pemerintah dan pemerhati budaya untuk melestarikan
bangunan PG
Tjepiring, menjalankan roda produksi pabrik gula ini sekaligus menghidupkan
kembali
tradisi wiwitan , maka akan terjadi sebuah kepunahan budaya sekaligus
terlupakannya
sebuah peninggalan budaya dan karya seni arsitektur yang ada di area pabrik
ini, sebuah
tugas berat menanti kami para generasi muda tanah Tjepiring , apakah kami
mampu
melestarikan peninggalan ini ditengah gempuran kapitalisme ekonomi yang kian
menghebat
atau kami mampu mensiasatinya hingga mampu menjadi sebuah objek wisata
yang pada
akhirnya akan menjadi sebuah sumber daya ekonomi dan pariwisata alternatif
dengan
menyasar pangsa pasar turis dari Belanda, hanya waktu yang akan menjawab dan
membuktikannya.
Penulis :
Aryo Widiyanto, Penikmat Sejarah, Pelestari Foto Kuno, Traveller , Backpacker,
Photograper,
Blogger di: aryowidiyanto.blogspot.com , twitter di @aryowidi , dan Jurnalis
Serta
Pegawai Negeri Sipil Yang Punya Akun Facebook dan Instagram: Aryo Widiyanto.
.