Minggu, 26 Juni 2011
Kospin Sekartama Anjangsana Ke Panti Asuhan dan Donor darah
Kospin Sekartama Anjangsana Ke Panti Asuhan dan Donor darah
Koperasi Simpan Pinjam Sekartama Minggu 26/6 mengadakan dua acara bhakti sosial yaitu Donor darah dan Anjangsana ke Panti Asuhan.
“Donor darah dan anjangsana ini adalah sebagai bentuk kepedulian keluarga besar Sekartama kepada sesama, bekerja sama dengan PMI nantinya seluruh darah yang terkumpul akan disalurkan kepada yang membutuhkan ,selain dalam rangka HUT Kospin Sekartama yang ke 20” papar Agus Budiyantoro SH, General Manajer Sekartama.
Dalam kegiatan donor darah yang dilakukan di aula Kospin tersebut diikuti oleh sekitar 90 karyawan dari 9 Kantor Cabang Sekartama yang tersebar di seluruh Kabupaten Kendal dibantu oleh sekitar 6 tenaga medis dari PMI, setelah acara donor darah dilanjutkan dengan acara spontanitas bertajuk “Sekartama Peduli” yaitu pengumpulan sumbangan sukarela dari seluruh peserta kegiatan dengan cara mengedarkan kardus keseluruh pegawai yang dengan sukarela memberikan sumbangan berupa uang, kemudian dana yang terkumpul ditambah dengan alokasi anggaran dari kantor disumbangkan seluruhnya ke Panti Asuhan.
Anjangsana Sekartama di Panti Asuhan Pamardi Siwi Weleri mengagendakan ramah tamah dengan segenap anak asuhan panti tersebut , dalam audiensi antara GM Sekartama beserta para pegawainya dengan pengasuh dan anak asuh diketahui bahwa sebutan Panti Asuhan kini telah berubah menjadi Unit Rehabilitasi Sosial (Unrehsos) , salah seorang pengasuh mengatakan bahwa ada satu syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh seorang anak jika akan menjadi anak asuh di Unrehsos itu yaitu dia harus bersekolah “ untuk biaya pendidikan dan makan minum, siswa yang tak mampu akan ditanggung oleh pemerintah dalam hal ini Unrehsos Pamardi Siwi II” tandas sang pengasuh.
Setelah acara ramah tamah selesai kemudian dilanjutkan dengan makan bersama serta pemberian tali asih kepada anak asuh Unrehsos tersebut.
Ulfa (14) dari Kecamatan Plantungan dan Khusnul (14) dari Cilacap yang diasuh oleh Unrehsos itu mengatakan bahwa mereka merasa senang tinggal di Pamardi Siwi karena , selain diberikan bekal berupa ilmu akademik melalui sekolah, di Panti ini juga mengajarkan berbagai ketrampilan seperti menjahit, menyulam dan pendidikan agama serta etika dan akhlak.
Bu Watik (48) seorang pengajar ketrampilan di Pamardi Siwi mengatakan bahwa tujuan pemberian keahlian ketrampilan tersebut adalah untuk bekal anak ketika nanti sudah terjun di masyarakat, “ Kami ucapkan terimakasih kepada Kospin Sekartama karena peduli kepada anak asuh kami” tandas wanita asli Cilacap tersebut.(aryo widiyanto
Minggu, 12 Juni 2011
Tedhak Siten, Budaya yang Tak Lekang digerus Waktu
Tedhak Siten, Budaya yang Tak Lekang digerus Waktu
Budaya Jawa diakui masih tetap dipegang teguh oleh penganutnya secara konsisten, ritual seperti ziarah kubur setiap Jumat Kliwon, Upacara di masa kehamilan seperti tiga bulanan/Neloni, Tujuh bulanan/Mitoni maupun adat semacam siraman di acara pengantin seakan lekat dengan kehidupan manusia Jawa yang terkenal santun menghargai interaksi dengan alam .
Sebuah ritual bernama Tedhak Siten yang secara literal diterjemahkan Tedhak artinya turun, atau menginjak serta Siten berarti Tanah , adalah sebuah upacara dimana seorang anak menginjak tanah untuk pertamakalinya dalam hidup, sebuah momen yang sacral bagi orang Jawa, mengingat tanah adalah sumber penghidupan, konon di Jawa kuno, ketika sedang dilanda kesulitan ,mereka di tengah malam berdoa diawali dengan kalimat “ Dengan menyebut nama Allah, Bopo Langit dan Ibu Bumi”, dari doa tersebut terlihat begitu dalamnya manusia Jawa menghargai tanah.
Tedhak Siten dilangsungkan ketika bayi sudah berusia Tujuh Bulan persis, tidak kurang tidak lebih, upacara diawali dengan persiapan berupa pihak orang tua menyediakan Bubur Abang Putih atau bubur berwarna merah (atau sebenarnya agak sedikit coklat, namun diasumsikan merah) serta bubur putih dijadikan satu dalam sebuah piring , bubur ini mengandung makna filosofis bahwa kelak nantinya anak akan tumbuh menjadi figure yang berani, bersemangat dan pekerja keras dilambangkan dengan warna merah pada bubur tersebut, sedangkan bubur putih mengandung arti kejujuran dan niatan tulus dalam setiap langkahnya.
Setelah diberi doa oleh Kyai atau sesepuh desa, anak kemudian akan dituntun menaiki miniature tangga terbuat dari Tebu Wulung atau tebu hitam, yang bermakna dimasa depan anak diharapkan menjadi seseorang yang tinggi ilmu, kedudukan dan derajat serta pangkatnya, Tebu hitam sendiri menurut kepercayaan Jawa adalah benda yang mampu menolak Bala’ atau penyakit dan kesialan.
Dibawah tangga tebu tersebut biasanya terdapat sebuah Bronjong atau alat penangkap ikan , bermakna agar ketika dewasa sang anak akan mampu terampil mencari nafkah dengan tangannya sendiri, mandiri tanpa bergantung pada orang lain.
Selesai menaiki tangga Tebu, sang anak dimasukkan dalam sebuah kurungan ayam berbentuk bulat besar, diyakini kurungan itu melambangkan dunia yang bulat, artinya kelak mau tidak mau anak itu akan masuk kedunia nyata, didalam kurungan bulat tersebut, sudah disediakan berbagai ubarampe atau perlengkapan yang akan dipilih oleh sang anak, seperti Uang, Tasbih, Kitab, Bedak, atau bahkan perhiasan, didalam kurungan itu biasanya anak akan memilih satu diantara sekian banyak perabot yang disediakan orang tuanya, filosofi yang terkandung menyiratkan bahwa tugas orang tua adalah bertugas membekali anaknya dengan berbagai pengetahuan dan biaya dalam menuntut ilmu namun hasil akhir diserahkan kepada sang anak itu sendiri.
Konon jika didalam kurungan itu sang anak memilih Uang atau perhiasan maka dipercaya {Atau diharapkan? Hehehe) kelak akan jadi anak yang kaya harta, jika memilih kitab atau tasbih maka ia akan menjadi orang berilmu . Wallahualam
Setelah semua acara diatas selesai, kembali Kyai atau sesepuh memberi doa pada sebaskom uang recehan dan seekor ayam hidup yang kemudian oleh ayah atau kakek si bayi , uang dan ayam itu disebarkan ke halaman dan diperebutkan oleh para tetangga yang tanpa sungkan, tua muda laki laki perempuan turut serta berebut recehan dan mengejar ayam yang terkadang sampai tercebur di got selokan depan rumah yang punya hajat.
Tedhak Siten masih tetap lestari hingga tahun 2011 ini, seorang Anggota polisi dari Polres Kendal Aiptu Darmanto hari minggu 12 Juni 2011 mengadakan acara Tedhak Siten untuk anaknya yang benama Devdan yang berusia tujuh bulan, “ Tedhak Siten lebih dari sekedar acara ritual biasa , ini adalah sebuah harapan yang kami coba tanamkan kepada anak kami , semoga kedepan dia menjadi anak yang berguna bagi Nusa, Bangsa dan Agama serta berbakti kepada orang tua” harapnya. Devdan yang berwajah mirip Bapaknya tersebut saat dimasukkan kedalam sangkar dunianya, ternyata dia memilih Uang seratus ribu bergambar Sukarno Hatta, silahkan ditafsirkan sendiri (Aryo Widiyanto)
Sabtu, 11 Juni 2011
Jumat, 10 Juni 2011
Sabtu, 04 Juni 2011
Rayakan Kelulusan ratusan pelajar Konvoi
Rayakan Kelulusan ratusan pelajar Konvoi
Konvoi pelajar SMP merayakan kelulusan terjadi di Kabupaten Kendal Sabtu (4/6) dengan mengendarai motor , tubuh penuh coretan cat semprot dan bahkan membawa bendera para pelajar tersebut sempat membuat kaget warga yang dilalui.
Seperti yang terjadi di Perempatan Patebon , tampak serombongan pelajar berseragam putih biru dengan muka belepotan cat meraungkan knalpot motornya , konvoi itu sedikit memacetkan jalan , demikian pula yang terjadi di pertigaan Sriagung Cepiring , pertigaan Purin, dan beberapa wilayah Kendal lainnya.
Agus (15) seorang pelajar MTS di Kendal ketika ditemui bersama rekan rekannya sedang bersuka cita merayakan keberhasilannya lulus dari sekolah mengatakan bahwa merupakan hal wajar baginya untuk berkonvoi, mengecat rambut, seragam bahkan mukanya , “ untuk melepas ketegangan dan stress mas” teriaknya.
Gembira bagi para pelajar itu ternyata merupakan sedikit derita bagi warga lain, Rohman (34) warga Penjalin Botomulyo Cepiring mengaku dirinya merasa takut dan terganggu dengan model perayaan dengan berkonvoi di jalan raya tersebut, “ Tadi saya hampir Kesrempet motor para pelajar yg konvoi tersebut, untung tidak jatuh” ucapnya dengan muka masih nampak terkejut.
Namun tak semua pelajar merayakan kelulusan dengan turun kejalan, sejumlah siswa di SMP 1 dan 2 Kendal nampak tertib menunggu pengumuman kelulusan, kebanyakan mereka membawa baju bebas dan T Shirt, sementara perayaan unik dilakukan di SMP PGRI 13 Kendal dimana seluruh siswa dan guru mengenakan baju tradisional dan dengan dikawal petugas dari Polsek Patebon mereka mengadakan bhakti sosial membagikan sembako pada para tukang becak di Pertigaan Purin Kendal ( Aryo Widiyanto)
Rabu, 01 Juni 2011
Jangan Ambil Nyawa Orangtua Kami
Jangan Ambil Nyawa Orangtua Kami
Maraknya penembakan polisi di berbagai wilayah Indonesia seperti yang terakhir terjadi di Poso dimana tiga bhayangkara Negara meninggal dunia ditembus timah panas seakan menjadi tragedy dan ironi.
Ironis karena pada hakikatnya tugas polisi adalah pelayan dan pengayom masyarakat, lihat saja bagaimana setiap pagi buta hingga malam pekat anggota Satlantas bekerja keras mengatur lalu lintas, menyeberangkan anak kita yang berangkat dan pulang sekolah, mempertaruhkan kesehatan menghirup asap timbale yang dikeluarkan knalpot kendaraan, lalu patroli oleh Satuan Samapta , Reserse intel maupun ungsi yang lain semua bermuara pada satu hal yaitu menciptakan rasa aman di masyarakat.
Memang ada oknum anggota yang “nakal” di kepolisian, namun jangankah itu menjadikan “nila setitik rusak susu sebelanga”, janganlah itu menjadi dendam sehingga timbul tindakan amoral membenci semua polisi dan berujung pada penembakan membabi buta menghilangkan nyawa .
Sebagai pribadi, saya adalah anak polisi yang kebetulan bapak saya hilang nyawa karena sebutir peluru yang menembus jantungnya di polsek cepiring sekitar tahun 1979, penembaknya mungkin menyesal, namun tahukah betapa susahnya tumbuh dan besar tanpa figur bapak kandung yang mengasihi, membimbing dan mengarahkan kemana kita kan melangkah, belum lagi jika ada ejekan dan hinaan , siapa yang akan membela dan menenteramkan hati dan memberi semangat, kehidupan tanpa ayah adalah berat bagi anak yang kehilangan bapaknya.
tahukah betapa susahnya ratusan bhayangkari yang kehilangan nyawa suaminya ketika berdinas di kepolisian Republik Indonesia yang kita cintai ini.
Para istri Polisi anumerta itu walaupun sedikit pasti merasakan pedihnya kehilangan suami yg bertugas membela Negara, tapi siapa yang peduli akan nasib mereka, belasungkawa hanya sekejab, kehidupan berjalan terus, memang teman satu korps masih sering membagi kasih sayang namun tak selamanya mereka ada untuk istri para anumerta itu, kehidupan sudah masing masing, rumahtangga sudah berbeda.
Sudah seharusnya para petinggi Polri memikirkan nasib anak dan isrri para polisi yang meninggal dalam tugas. Jiwa raga Polri adalah untuk Indonesia tercinta semoga Negeri tercinta ini juga peduli pada kami.
Aryo Widiyanto
Wartawan Majalah Bhara Mitra Bahurekso
Polres Kendal
Tinggal di Jalan Sriagung 234 Cepiring Kendal
Jawa Tengah
Dan saya Bangga sebagai Putra Polisi.
Langganan:
Postingan (Atom)