Minggu, 12 Juni 2011

Tedhak Siten, Budaya yang Tak Lekang digerus Waktu








Tedhak Siten, Budaya yang Tak Lekang digerus Waktu

Budaya Jawa diakui masih tetap dipegang teguh oleh penganutnya secara konsisten, ritual seperti ziarah kubur setiap Jumat Kliwon, Upacara di masa kehamilan seperti tiga bulanan/Neloni, Tujuh bulanan/Mitoni maupun adat semacam siraman di acara pengantin seakan lekat dengan kehidupan manusia Jawa yang terkenal santun menghargai interaksi dengan alam .
Sebuah ritual bernama Tedhak Siten yang secara literal diterjemahkan Tedhak artinya turun, atau menginjak serta Siten berarti Tanah , adalah sebuah upacara dimana seorang anak menginjak tanah untuk pertamakalinya dalam hidup, sebuah momen yang sacral bagi orang Jawa, mengingat tanah adalah sumber penghidupan, konon di Jawa kuno, ketika sedang dilanda kesulitan ,mereka di tengah malam berdoa diawali dengan kalimat “ Dengan menyebut nama Allah, Bopo Langit dan Ibu Bumi”, dari doa tersebut terlihat begitu dalamnya manusia Jawa menghargai tanah.
Tedhak Siten dilangsungkan ketika bayi sudah berusia Tujuh Bulan persis, tidak kurang tidak lebih, upacara diawali dengan persiapan berupa pihak orang tua menyediakan Bubur Abang Putih atau bubur berwarna merah (atau sebenarnya agak sedikit coklat, namun diasumsikan merah) serta bubur putih dijadikan satu dalam sebuah piring , bubur ini mengandung makna filosofis bahwa kelak nantinya anak akan tumbuh menjadi figure yang berani, bersemangat dan pekerja keras dilambangkan dengan warna merah pada bubur tersebut, sedangkan bubur putih mengandung arti kejujuran dan niatan tulus dalam setiap langkahnya.
Setelah diberi doa oleh Kyai atau sesepuh desa, anak kemudian akan dituntun menaiki miniature tangga terbuat dari Tebu Wulung atau tebu hitam, yang bermakna dimasa depan anak diharapkan menjadi seseorang yang tinggi ilmu, kedudukan dan derajat serta pangkatnya, Tebu hitam sendiri menurut kepercayaan Jawa adalah benda yang mampu menolak Bala’ atau penyakit dan kesialan.
Dibawah tangga tebu tersebut biasanya terdapat sebuah Bronjong atau alat penangkap ikan , bermakna agar ketika dewasa sang anak akan mampu terampil mencari nafkah dengan tangannya sendiri, mandiri tanpa bergantung pada orang lain.
Selesai menaiki tangga Tebu, sang anak dimasukkan dalam sebuah kurungan ayam berbentuk bulat besar, diyakini kurungan itu melambangkan dunia yang bulat, artinya kelak mau tidak mau anak itu akan masuk kedunia nyata, didalam kurungan bulat tersebut, sudah disediakan berbagai ubarampe atau perlengkapan yang akan dipilih oleh sang anak, seperti Uang, Tasbih, Kitab, Bedak, atau bahkan perhiasan, didalam kurungan itu biasanya anak akan memilih satu diantara sekian banyak perabot yang disediakan orang tuanya, filosofi yang terkandung menyiratkan bahwa tugas orang tua adalah bertugas membekali anaknya dengan berbagai pengetahuan dan biaya dalam menuntut ilmu namun hasil akhir diserahkan kepada sang anak itu sendiri.
Konon jika didalam kurungan itu sang anak memilih Uang atau perhiasan maka dipercaya {Atau diharapkan? Hehehe) kelak akan jadi anak yang kaya harta, jika memilih kitab atau tasbih maka ia akan menjadi orang berilmu . Wallahualam
Setelah semua acara diatas selesai, kembali Kyai atau sesepuh memberi doa pada sebaskom uang recehan dan seekor ayam hidup yang kemudian oleh ayah atau kakek si bayi , uang dan ayam itu disebarkan ke halaman dan diperebutkan oleh para tetangga yang tanpa sungkan, tua muda laki laki perempuan turut serta berebut recehan dan mengejar ayam yang terkadang sampai tercebur di got selokan depan rumah yang punya hajat.
Tedhak Siten masih tetap lestari hingga tahun 2011 ini, seorang Anggota polisi dari Polres Kendal Aiptu Darmanto hari minggu 12 Juni 2011 mengadakan acara Tedhak Siten untuk anaknya yang benama Devdan yang berusia tujuh bulan, “ Tedhak Siten lebih dari sekedar acara ritual biasa , ini adalah sebuah harapan yang kami coba tanamkan kepada anak kami , semoga kedepan dia menjadi anak yang berguna bagi Nusa, Bangsa dan Agama serta berbakti kepada orang tua” harapnya. Devdan yang berwajah mirip Bapaknya tersebut saat dimasukkan kedalam sangkar dunianya, ternyata dia memilih Uang seratus ribu bergambar Sukarno Hatta, silahkan ditafsirkan sendiri (Aryo Widiyanto)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar