Menara Kroostin, saat
penjajah Belanda menyerap budaya lokal
Tjepiring.
Tak
selamanya penjajah kolonial Belanda meninggalkan jejak buruk di tanah
jajahannya, di Cepiring Kabupaten Kendal Jawa Tengah ,sejauh pengamatan saya ,
ada beberapa hal unik yang ditinggalkan secara
positif oleh para hollanders itu.
Diantaranya
adalah menara cerobong asap Pabrik Gula ( PG)
Tjepiring alias Kroostin yang
hingga kini masih tetap megah berdiri walaupun bahkan warganya sendiri tak ada
yang mendaftarkan sebagai cagar budaya yang patut dilindungi dan dilestarikan.
Menara
ini rupanya mengandung filosofi mendalam akulturasi penghormatan para arsitek
yang membangun pabrik gula ini terhadap budaya Jawa, menurut Agus Budi
Dharmawan (50) keponakan dari mantan Lurah Tjepiring Mbah Sastro Atmojo yang konon menjadi kepala
desa cepiring mulai dari jaman belanda hingga orde baru, “ filosofi Krostin berdasarkan
cerita mbah Sastro yang mengutip dari perbincangannya dengan para meneer
belanda yang sering berinteraksi dengannya ,
adalah meniru bentuk “ Pantongan “
atau yang lebih dikenal sebagai Kentongan yaitu alat penanda bahaya yang
terbuat dari kayu atau bambu berbentuk silinder ,fungsinya jika ada sesuatu seperti kemalingan,
perampokan dan sebagainya yang saat jaman itu sering digantung di poskamling
atau balai desa, bisa saja bentuknya kotak misalnya, tapi arsitek belanda
nampaknya mengadopsi bentuk pantongan sebagai penghargaan terhadap budaya
lokal” tutur budi yang sehari hari adalah pemilik toko roti Waris dan Hotel
Asri Kendal.
Kroostin
didinamit di Gemuh.
Seingat pak Budi ini, ada empat
Kroostin yang ada di kabupaten Kendal, sebagai cerobong asap sekaligus penegas
hegemoni makmurnya industri gula Belanda di tanah bahurekso ini “ Ada empat
Krosteen, pertama di PG Pegandon, Kaliwungu, Gemuh dan Tjepiring, jika ada
kroostin berarti pasti ada pabrik gulanya,” tutur Budi.
Namun akulturasi harmonis
ini bukan tanpa gejolak, di Gemuh , sebuah daerah sekitar tiga
kilometer kearah selatan Tjepiring ,ada kejadian mencengangkan , “ Menara Kroostin diledakkan dengan dinamit oleh
Lurah Gemuh bernama Slamet Linuwih dan pasukannya ,tahun kejadiannya saya tak
tahu persis mungkin sebelum tahun 1940-an
tapi hingga tahun sekitar 90-an sisa sisa reruntuhan kroostin itu
masih ada di sekitar pinggiran sungai
Bodri , penyebab peledakan itu adalah hanya gara gara Belanda serakah membuat peraturan bahwa semua tanah produktif di wilayah
Gemuh harus ditanami Tebu, Padahal Gemuh itu secara tradisi adalah lahan
pertanian untuk pertanian palawija dan tembakau, begitu ditanami tebu maka mungkin rakyat lokal gak bisa makan dan
mengembangkan tembakau” tutur Budi .
Pernyataan pak Budi ini selaras
dengan apa yang ditulis oleh Leonie Van Daalen seorang warga Belanda yang
keluarganya pernah menjadi petinggi di PG Cepiring di tahun 1937 dalam bukunya
“Military in Tjepiring” disana
disebutkan bahwa terdapat gudang tembakau di Gemuh jaman kolonial itu, dan
tentu saja jika ada gudang tembakau maka diprediksi daerah sekitarnya adalah
penghasil tembakau, berikut cuplikan
dari sedikit teks dari buku itu “rumours
spread that Tjepiring would receive KNIL officers to be housed as well. Soon
after the military arrived, Mother and I went by jeep to Gemoe to visit the
tobacco emplacement “
terjemahan bebasnya adalah “rumor mulai menyebar bahwa
Tjepiring akan kedatangan prajurit KNIL
dalam waktu dekat, segera setelah militer datang, ibu dan saya pergi ke Gemoe (
Gemuh?) untuk menengok gudang tembakau”.
Banyak akulturasi
budaya dan perikehidupan lain semasa Belanda tinggal di Tjepiring di jaman dulu
itu, akan sangat mengagumkan jika perpaduan budaya antara Eropa dan Asia ini tertulis
dan tergali dari tangan tangan generasi muda kota Cepiring Kendal Jawa Tengah,
mari kita lestarikan sejarah .
( Aryo
Widiyanto, Journalist, Traveller , Backpacker, , Photographer, dan Abdi Negara,
Blogger di aryowidiyanto.blogspot.com. Twitter di @aryowidi , Facebook
:Aryo Widiyanto, email di : aryo_widi@yahoo.co.id. Address: Jl Sriagung 234
Cepiring Kendal Jawa Tengah Indonesia.
Instagram :Aryo Widiyanto)