Sabtu, 10 Mei 2014

Ketika Kuda Lumping mengais rejeki di lampu merah.

Kisah si Slamet 


Ketika Kuda Lumping mengais rejeki di lampu merah.


    Tari adalah suatu instinct atu desakan emosi didalam diri kita yang mendorong kita untuk mencari ekspresi pada tari, demikian Kamala Devi Chattopadhyaya sang reformis sosial dan pejuang kemerdekaan India yang dikenang karena mendorong berkembangnya kesenian di negaranya serta mengangkat standar ekonomi rakyatnya dengan menghidupkan gerakan koperasi dan beberapa institusi budaya di India yang  masih eksis hingga sekarang seperti National School of drama hingga Sangeet Natak Akademi.




          Jika saja figur seperti Kamala Devi Chattopadhyaya itu ada di Indonesia mungkin saja akan membantu mengangkat pamor seorang street artist semacam Slamet (23) pemuda asal Dusun Gemawang Kabupaten Temanggung Jawa Tengah yang demikian cinta pada Kuda Lumping hingga rela mengamen menggunakan kostum Kuda Lumping di sepanjang jalur Pantura Jawa Tengah bersama puluhan seniman lainnya.
          Slamet yang kesehariannya merupakan petani dari Temanggung ini menuturkan, selepas panen Padi  dirinya memang “Hobi” mengamen dari satu kota ke kota lainnya, dengan kostum layaknya penari Jaran Kepang profesional, lengkap dengan kuda kudaan tipis yang terbuat dari anyaman bambu, cambuk , krincingan yang terbuat dari logam bundar menghiasi kaki dan tangannya, Make Up nan artistik membuat wajahnya terlihat lebih gaya dan artisitik saat menari di antara pintu rumah para warga yang disambanginya.
Tak jarang Slamet harus menempuh perjalanan jauh dari desanya hingga menjelajah seantero Jawa Tengah untuk memenuhi hasratnya menari , beberapa kali dia harus istirahat di pinggir jalan karena kelelahan dan jika kondisi tubuhnya tak memungkinkan dia berobat ke puskesmas terdekat
          “ Saya belajar menari dari kelompok seni “Cipto Budhoyo” yang ada di kampung saya, ada instrukturnya dan tak asal menari, ada kaidah yang harus dipatuhi, namun jika tak ada job atau show ya terpaksa untuk menyalurkan hobi sekaligus mencari nafkah ya saya mengamen, hitung hitung mengasah kemampuan menari dan memperkuat mental” paparnya  sambil mengenang bahwa grup keseniannya pernah manggung di Borobudur, Suropadan dan sejumlah event seni di Semarang saat pemerintah yang dianggapnya “Tak terlalu peduli” nasib seniman , mengadakan acara nan seremonial.
          Slamet sang penari mengungkapkan harapannya bahwa suatu masa nanti para pemimpin  baik itu Gubernur Jateng Ganjar Pranowo atau Jokowi atau siapa sajalah yang memegang tampuk kuasa di negeri ini bisa lebih peduli pada nasib para seniman jalanan, “ Kadang jika melihat di TV, saya sedih, seniman mendapat tempat terhormat di luar negeri disediakan pelatihan dan tempat manggung, namun di Jawa Tengah, malah pada ngamen di lampu merah, nanti jika Kuda Lumping diklaim Malaysia, pada geger protes tapi mana ada yg memikirkan nasib kami para pelestarinya” tutur Slamet terbata. (Aryo Widiyanto, Traveller, Bacpaker, penikmat seni yg tinggal di akun twitter @aryowidi, fesbuk: Aryo Widiyanto dan blog :  aryowidiyanto.blogspot.com)

         
          ,
         


Tidak ada komentar:

Posting Komentar