Minggu, 01 November 2015

Wiwitan Pabrik Gula Cepiring Kendal Jawa Tengah.



Wiwitan Pabrik Gula Cepiring
Sebuah Tradisi Pesta Rakyat yang terlupakan 


                Berpuluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun  lamanya masyarakat di Kabupaten Kendal pernah menikmati sebuah tradisi pesta rakyat yang  dinamakan “Wiwitan “ sebuah kata yang berasal dari kalimat “Wiwit “ yang artinya permulaan.

                Ya, memang tradisi Wiwitan ini adalah sebuah tradisi berwujud sebuah pasar rakyat atau lebih akrab dinamakan pasar malam yang diselenggarakan pihak Pabrik Gula (PG) Cepiring  untuk menandai awal atau permulaan  proses penggilingan tebu di pabrik gula satu satunya di Kabupaten Kendal ini.


                Prosesi Wiwitan ini sendiri tergolong unik dimana didahului dengan acara pawai dan arak arakan Penganten Tebu berupa simbol dua batang tebu yang didandani layaknya sepasang suami istri , biasanya melibatkan kesenian lokal seperti Barongan, Jaran Eblek dan Dawangan yang berada di baris depan mengawal seekor kerbau yang akan disembelih dan kemudian kepalanya ditanam di bawah Krosteen atau cerobong asap berukuran raksasa yang merupakan Ikon kota Cepiring sejak jaman penjajahan Belanda.

                Setelah ritual penguburan kepala Kerbau tersebut kemudian selama kurang lebih seminggu masyarakat akan dihibur oleh sebuah event pasar malam yang meriah dan ramai untuk ukuran jaman itu , ambil sampel ditahun 1985 an ketika penulis masih duduk di bangku Sekolah Dasar, kami para bocah selalu menunggu adanya pesta rakyat ini, disamping melihat kesenian Barongan, kami selalu terpesona dengan sejumlah mitos yang ada di seputar pabrik  gula itu seperti sepasukan Hantu Tentara Belanda yang  gentayangan ditengah malam menemui para pengunjung Wiwitan atau cerita tentang Hantu Noni Belanda cantik di lokasi Gedung besar  yang konon sempat menjadi markas tentara Belanda dan bahkan hantu bule yang berpakaian compang camping di bangunan SD Negeri 3 Cepiring dulunya menurut hikayat adalah merupakan  Rumah Sakit Jiwa bagi orang Belanda yang tertekan karena perang  dan sebab yang lain, cerita mistis yang tak jelas ujung pangkalnya membuat acara Wiwitan menjadi lebih seru dan menarik bagi kami yang saat itu tak begitu akrab dengan televisi dan film kartun.

                Pasar malam itu sendiri sebagaimana pasar malam yang ada di Kabupaten Kendal saat ini namun sangat  jauh lebih meriah, ketika itu menjelang saat sore tiba saya masih ingat ratusan orang dari desa desa di hampir seluruh Kabupaten Kendal dengan mengendarai sepeda atau angkutan umum berupa mobil minibus yang penuh sesak bercampur baur antara bau solar, keringat , dan onggokan karung berisi bunga Melati dari daerah Sukorejo dan sekitarnya serta  
Menjelang Isya warga yang datang semakin bertambah banyak terutama di hari pertama dan terakhir Wiwitan, suasana hingar bingar dari para tukang parkir sepeda,karena jaman itu alat transportasi utama adalah sepeda , ditambah dengan riuhnya para penjual buah Duku dan Salak ,entah kenapa di setiap Wiwitan saya selalu menjumpai penjual buah Duku ini padahal saat itu mungkin bukan musimnya, penjual makanan seperti Martabak dan Bolang Baling, pedagang mainan tradisional seperti Otok-Otok yaitu semacam Kaleng yang diberi roda,diatasnya ditempelkan kayu berbentuk seperti  kepala ayam jago dan dibawahnya diantara as roda kayu itu diberi karet yang tengahnya diberi potongan kayu sehinga ketika bilah bambu yang berfungsi sebagai pendorong didorong maka akan berbunyi  otok..otok..otok.., lalu ada juga penjual mainan Kapal Uap terbuat  dari seng dimana didalam “Kabin” kapal kaleng itu diberi semacam bahan bakar terbuat dari Kapas yang dicelupkan kedalam minyak kelapa, ketika sudah panas maka kapal itu akan bergerak maju dengan sendirinya dan mengeluarkan suara yang khas dan aroma minyak yang niscaya akan selalu terkenang sepanjang masa , para bakul itu dari  pintu depan berjejer memenuhi  jalan beraspal yang ada di kompleks PG Cepiring sepanjang mungkin dalam radius 4 Kilometer jika diukur keseluruhannya menjadi sebuah simbiosis dengan para pebisnis  wahana permainan seperti  Tong Stand atau yang diplesetkan oleh lidah orang Kendal menjadi Tong Setan yaitu pertunjukan ketrampilan menaiki motor Trail yang mampu menaiki semacam panggung raksasa berbentuk seperti Tong terbuat dari kayu, ada lagi Jinontrol  sebuah wahana permainan berbentuk seperti kincir air yang bisa ditumpangi sekitar 20 orang bergerak dari bawah keatas, dan percayalah ketika saya mencobanya begitu sampai diatas paling puncak yang mungkin 40 meter dari atas tanah , rasanya hati ini deg degan kenceng banget , membayangkan seandainya  as pemutar roda raksasa ini lepas dan kami semua ikut menggelinding bersama Jinontrol itu seperti puluhan ekor Hamster tak berdaya terkurung di kotak besi yang bentuknya mirip jok becak, sungguh pengalaman yang mendebarkan, jika Jinontrol bergerak dari bawah ke atas, lain lagi dengan Ombak Banyu  dan  Dermolen wahana ini relatif aman,karena  gerakannya memutar melingkar dan kami para bocah dimanjakan  dengan hanya duduk di atas kayu berbentuk  Kuda  dan terkadang Gajah atau mobil, tadinya saya kira Dermolen itu digerakkan oleh mesin namun sebuah kejadian ketika  saya melirik tak sengaja ke samping, ternyata “Mesin” itu adalah berupa tenaga manusia para pekerja dermolen yang dengan penuh semangat  mendorong  dermolen itu hingga berputar selama mungkin seharian penuh.sebuah pekerjaan yang berat, tapi dasar kami para anak anak mana mengerti tentang penderitaan para pekerja dermolen itu,tawa kami ternyata berlandaskan  keringat para pendorong dermolen, sebuah ironi yang tak terlihat diantara kegembiraan.

                Jika anak anak punya tujuan mulia ingin menikmati suasana wiwitan dan menghabiskan uang saku dari  orang tuanya dengan membeli Bolang Baling, Arum manis, dan berbagai jajan serta mainan, lain lagi dengan    ”  modus “ para pelaku kriminal yang seiring dengan datangnya berbagai kesempatan empuk para pengunjung dari pedesaan yang cenderung narsis dan percaya diri banget memakai perhiasan seperti kalung ,gelang, cincin dan bahkan gelang kaki  yang mencorong dan  bergelantungan seakan etalase toko emas berpindah ke tubuhnya, menjadi sasaran para Copet dan Jambret yang membaur bersama para penikmat Wiwitan, kalo dah begini, yang repot pasti para Wakeer  alias Satpam Pabrik Gula  menerima pengaduan para korban copet yang tak jarang  menangis histeris ditonton kerumunan pengunjung yang mungkin menganggapnya sebagai bagian dari  kemeriahan Wiwitan.

                Masih jelas tercetak dalam ingatan saya , tak hanya anak anak dan para pencopet yang menganggap moment Wiwitan sebagai ajang panen  kemeriahan setahun sekali, para remaja dan para “Jomblo” alias pria dan wanita kesepian yang  barusan putus cinta atau belum menemukan jodoh acap menjadikan Wiwitan sebagai aksi unjuk eksistensi diri demi meng “gebet” sang pujaan hati, biasanya para jomblo itu berangkat agak gasik (Awal-red )  berjalan ramai ramai menikmati nuansa sore ditingkahi  indahnya lingkungan pabrik gula membayangkan diri menjadi rombongan Romeo dan Mercutio yang menanti Julietnya datang mendekat di sepanjang jalan yang dapat dinikmati sebagai jalur alternatif  atau jalan pintas menuju desa di sekitarnya, jalan PG Cepiring hingga saat ini memang tergolong jalan paling romantis karena di tepinya tumbuh pohon flamboyan dan Cemara Angin  yang membuat teduh dan indah, ditingkahi kicauan burung gereja di atap atap bangunan bergaya Gothic yang dibangun oleh Kompeni Belanda sejak jaman penjajahan.
               
Bagi para penikmat musik Dangdut yang merasa harus menumpahkan adrenalinnya dengan cara berjoget sepuas hati, ajang perjogetan ini mendapat porsi   tersendiri dari panitia , di lapangan samping kanan Gedung Besar  yang  luas itu berdiri sekitar dua atau tiga panggung yang tertutup rapat dengan Papan Kayu atau Seng, secara vulgar didepannya terdapat baliho atau spanduk berlukiskan para penyanyi wanita dengan pose yang  “berani” samar samar masih terbayang grup yang sering manggung disana itu adalah Ken Dedes dan Kelana Karya, pengunjungnya berjubel  dan tentu saja hukum kala itu tak seketat sekarang  bau minuman menguar dari para pejoget yang kelebihan tenaga,ngosek kesana kemari, bersenggolan dengan sesama pengunjung bahkan sampai baku pukul tak terhindarkan, dari ajang inilah mungkin tercetus sebuah rivalitas abadi antara para pemuda Desa Sidomulyo dan grupKermitj alias Kelompok Remaja Militan Tjepiring terjadi dan menimbulkan fenomena permusuhan antar desa yang melegenda di sekitar tahun 80 an hingga pertengahan 90an.

                Kejayaan Pabrik Gula Cepiring membawa imbas manis bagi para penduduknya saat itu, banyak pemuda desa yang bekerja disana, jarang ada pengangguran, setiap pagi sekitar jam 6 terdengar bunyi yang kami sebut Singal (Dari Kata Signaal dari Bahasa Belanda-Red)  kami merindukan setiap pagi ada Langes  atau sisa pembakaran tebu menjadi gula bentuknya hitam mirip arang tapi ringan seukuran bulir padi menyebar  dengan bau manis disekitar atap rumah kami saat itu, tak ada yang protes tak ada yang rewel karena kami sadari Langes itulah yang membuat kehidupan ekonomi berjalan lancar , hingga sekitar tahun 1997 semua cerita tentang Wiwitan menjadi sebuah irisan kenangan yang akan lama terindukan, sebab tahun itu PG Cepiring Bangkrut banyak tenaga musiman dan karyawan diberhentikan dan dirumahkan. Satu per satu karyawan yang meninggalkan perumahan berarsitektur  Belanda yang ada di lingkungan pabrik. Saat itu tinggal sedikit karyawan yang masih dipertahankan oleh manajemen pabrik untuk mengurus keberadaan pabrik yang tidak beroperasi lagi.

                Tak ada lagi kemeriahan dan wajah gembira para pekerja yang berangkat kerja diiringi derai suara Singal, tak ada lagi Langes dan bahkan ribuan batang rel kereta api  peninggalan Belanda milik PG Cepiring juga tak jelas kemana larinya, kami kembali merindukan Lokomotif berwarna hijau yang rajin mengeluarkan jeritan Nguik nguiknya  ketika mengangkut  puluhan lori tebu, kami para bocah saat itu senang sekali menumpang di Lokomotif hijau itu, favorit saya adalah Loko  nomer 9 , mengingatkan saya pada Michel Platini pesepak bola Brilliant dari Prancis,sementara mas Henggar dan mas Untung dua sepupu saya suka nomer 6, tanpa aku tau alasannya. Perjalanan menumpang loko itu jelas penuh resiko,kami bertualang menjelajah desa kearah Desa Gemuh, Pegandon, Putat, hingga Kendal kota ditemani semilir angin pembakaran ampas tebu yang digunakan sebagai bahan bakar Loko hijau itu, menikmati nuansa pedesaan melihat bangau yang mencari kodok kecil diantara langkah para petani yang sedang menanam padi, sebuah memori yang  akan membekas seumur hidup nampaknya.

Setelah sekian lama tutup tak beroperasi  Tahun 2008 PG Cepiring  resmi beroperasi lagi, namun  jika dulu tradisi Wiwitan  menjadi momen berharga, megah dan juga kebanggaan, kini hanya tinggal kenangan.  Wiwitan di tahun 2008 ini digelar di lokasi yang sangat sempit yaitu di lapangan sepak bola  miris karena ibarat petinju turun dari kelas berat menjadi kelas ringan, bahkan super ringan, ibarat penyanyi yang terbiasa pentas di Las Vegas kini harus berdendang di  panggung Tarkam alias antar kampung,  lebih  memprihatinkan lagi Wiwitan yang dulu adalah pasar Rakyat di tahun itu berubah jadi ajang bisnis remeh temeh pihak pabrik gula yang kini dikuasai oleh swasta, lokasi dipagari terpal rombeng  dan harus membayar karcis Rp 3.000/ orang untuk bisa memasuki lokasi. Inilah realitas yang barangkali bagi kalangan berada tak begitu berarti. Namun bagi kalangan rakyat kecil adalah miris  untuk menyaksikan sebuah tradisi yang dibanggakan itu harus dibebani biaya. 


                      Pelaksanaan Wiwitan  di bulan juli 2009 dan Tahun 2013 sudah mulai ada perubahan , warga sudah tak dipungut biaya lagi , tak ada terpal rombeng yang menurunkan kelas Wiwitan sebagai tontonan megah rakyat Kendal,  pergelaran wayang kulit pun digelar, namun inilah mungkin kesalahan fatal dari pihak PG Cepiring,entah berkaitan atau tidak, setelah nanggap wayang ini direktur utama PG Cepiring lengser dari jabatannya,  syahdan  menurut mitosnya di Cepiring adalah tempat yang  konon pamali untuk nanggap wayang kulit, menurut Mbah Sastro Atmojo mantan Lurah Cepiring  yang mengalami masa masa penjajahan dan mulai jadi Lurah di era orde lama dan sempat menjabat di era orde baru, pernah suatu ketika  ada juragan menggelar acara wayang kulit, tak lama ada badai dan angin ribut menghantam desa ini, sejak saat itu tak ada lagi yang berniat menanggap wayang kulit, sebagai gantinya kesenian tradisional Barongan yang tergabung dalam grup PBKC alias Persatuan Barongan Kelurahan Cepiring semakin eksis dan berkembang,  namun sayangnya Media massa yang secara masiv menayangkan perhelatan itu baik TV ataupun Koran hanya fokus masalah prosesi arak arakan penganten tebunya, tanpa ada esensi mengulas betapa tradisi ini sudah melekat di benak warga Cepiring selama puluhan tahun.


 Aryo Widiyanto, Journalist,   Traveller , Backpacker, , Photographer, dan Abdi Negara, Blogger di aryowidiyanto.blogspot.com. Twitter di @aryowidi , Facebook :Aryo Widiyanto, email di : aryo_widi@yahoo.co.id.  Address: Jl Sriagung 234 Cepiring Kendal Jawa Tengah Indonesia

1 komentar:

  1. Makasih tulisannya mas. Jadi ingat lagi masa2 wiwitan, yang buat saya bakalan jadi memori yg ga bakalan bisa dilupakan.

    BalasHapus