Minggu, 10 Januari 2016

Belajar Budaya Dari Cerpen Fanny Johathan Poyk



Belajar Budaya Dari Cerpen Fanny Jonathans Poyk.


                Sebagai seseorang yang pernah belajar dan bekerja di bidang pariwisata semasa remaja dulu, saya merasakan susahnya mencari literatur atau referensi tentang budaya dan adat istiadat yang ada di Indonesia tercinta ini, bukan karena malas tapi karena Nusantara sangat kaya akan budaya yang tentu saja tidak semua tercatat bahkan di mesin google sekalipun.

                Saya seperti seorang pengelana yang kehabisan air dan tiba tiba begitu senang menemukan sebuah mata air berlimpah saat membaca Cerpen berjudul Belis Si Mas Kawin di Koran Kompas Minggu 10 Januari 2016. Saat pertama membaca  langsung perhatian saya tertuju pada alurnya yang mengisahkan tentang dinamika jelang pernikahan seperti lamaran dan mas kawin, yaa, siapa saja pasti tertarik akan sebuah kisah yang di dunia nyata pernah dialami manusia pada umumnya.

                Bercerita tentang keresahan Jublina, seorang Pegawai Negeri Sipil yang kebetulan masih berdarah biru berbapak dari suku Ti dan Ibunya dari Suku Rote Bilba, wanita ini menjalin hubungan dengan Benyamin Manu alias Ben, pria dari suku Ti .

                Mereka menjalin hubungan sudah berjalan lima tahun dan nampaknya ayah dari Jublina menginginkan Ben segera meminang dan menikahi putrinya, dan ritme berjalan menanjak saat sang bapak mengingatkan bahwa sebagai putri berdarah biru, adalah kewajiban secara adat bagi Ben untuk memberikan Belis bernilai tinggi sebagaimana adat yang dilestarikan dari jaman para Raja Ndana  termasuk pulau Rote dimana para lelaki sebelum menikah selain harus memberikan Mamar ( tanah perkebunan), Habas ( kalung emas), dan puluhan ekor kerbau serta sederet pengabdian sang calon mempelai lelaki kepada keluarga pinanganten wanita, membuat Ben bergidik , pikiran keduanya kalut, bahkan hingga merencanakan kawin lari, meninggalkan semua yang ada termasuk status mereka berdua sebagai PNS, sampai di bagian ini saya mendesah seperti Pat Kay di film Sun Go Kong yang berkata “ Beginilah cinta, deritanya tiada akhir”.

                Di akhir cerita Fanny Jonathans seakan sedang meledek para pembacanya, seakan dia berkata “Seperti apa akhir yang kalian bayangkan? Ala Romeo Juliet, atau Siti Nurbaya? Dan aku punya akhir ala aku sendiri” mungkin demikian Bu Fanny ini berbicara sembari tersenyum.

                Dan akhir ceritanya memang sangat tidak terduga, akhirnya Ben berkata “ Dari hasil tawar menawar melalui bahasa pantun yang memukau, keluargaku hanya mengajukan dana duapuluh juta, tanpa  Habas, tanpa Mamar dan tanpa puluhan kerbau, yang sanggup diberikan ibuku hanya duapuluh juta itu, ditambah tari tarian dan puluhan tenun ikat buatan ibuku, selebihnya aku hanya bisa memberikanmu cinta, Jublinaku sayang”.

                “Dan ayahku, apa responnya” tanya Jublina
“Dia setuju, daripada anakku jadi perawan tua,katanya, he..he” kata Ben.

                Ada kelegaan, ada senang, ada kilas balik yang berkelindan di benakku saat membaca cerpen ini, seperti kilas balik pengalaman pribadi para pria saat melamar wanitanya di masa muda dulu, pencerahan serta referensi tentang adanya budaya yang demikian tinggi menghargai wanita di Pulau Rote serta seakan digojlok untuk mengetahui akhir cerita yang benar benar ala Fanny Jonathan, benar benar ciamik, oke para pembaca, saya kliping dulu cerpen ini, selamat bekerja dan berkarya di senin yang indah ini,suwun maturnuwun. 

 (Aryo Widiyanto, Journalist,   Traveller , Backpacker, , Photographer, dan Abdi Negara, Blogger di aryowidiyanto.blogspot.com. Twitter di @aryowidi , Facebook :Aryo Widiyanto, email di : aryo_widi@yahoo.co.id.  Address: Jl Sriagung 234 Cepiring Kendal Jawa Tengah Indonesia )
                                                                                

Tidak ada komentar:

Posting Komentar