Suatu
Hari Di Paris Van Java
Mengunjungi Bandung atau yang dalam
dunia pariwisata dan istilah jaman kolonial Belanda dikenal sebagai Paris
Van Java selalu menjadi kenangan
yang menyenangkan, mulai dari suasananya yang teduh, pepohonan besar yang
menaungi sepanjang jalan di tengah kotanya, dan tentu saja pemandangan yang
hijau menyegarkan mata.
Beberapa waktu lalu saya ke kota ini
lagi kesekian kali atas rekomendasi dari pak Widhioseno dan bu Shinta yang merupakan bos saya semasa beliau di
Kendal dulu, saya mungkin tak akan kenal kota ini detail tanpa beliau.
Perjalanan saya berawal dari Stasiun
Tawang menggunakan Kereta Api Harina, berangkat jam Sepuluh malam, saya
sarankan menggunakan jadwal keberangkatan pagi karena pemandangan akan
begitu mengagumkan dari atas kereta dari
Semarang ke Bandung, siapkan kamera apa saja, jangan melewatkan apapun, akan
ada banyak pemandangan bagus terutama saat jelang masuk Stasiun Cilame dan
Cimahi, view pegunungan , deretan nyiur yang melambai di tengah persawahan , kelokan sungai berbatu
yang begitu indah di pedesaan bisa kita abadikan dari kereta api yang melaju
diatas ketinggian lebih dari seratus meter dari permukaan tanah ,memasuki
terowongan yang gelap, sehingga kita seperti berada di pesawat , sedikit ngeri
namun menarik.
Tiba di Stasiun Kota, saya dijemput
pak Nono, staf yang ditugaskan untuk memandu arah perjalanan, menggunakan mobil
keluarga yang kecil dan nyaman, kami mulai menjelajah kota kembang. Pagi itu
kami menyusuri kota Bandung yang bersih, segar dan rimbun dengan pepohonan
besar, unik ketika melihat di sepanjang jalan arah depan Kodam III Siliwangi
banyak pepohonan dibalut kain warna kuning hijau dan biru, mungkin untuk
memeriahkan HUT TNI silam, jalanan kota Bandung sebagaimana pernah saya lihat
beberapa tahun lalu masih tetap bersih dan terawat, sepanjang jalan ada petugas
dari pemerintah yang berpakaian Wearpack oranye menyapu dan membawa tempat
sampah besar warna biru, halte bus pun bersih, halaman perkantoran dan
pertokoan tampak menyediakan tempat sampah ukuran besar.
Satu hal yang menjadi catatan saya
bahwa Bandung merupakan salah satu kota
yang ramah pelajar salah satunya adalah ketika pagi itu sebuah bus berukuran
besar berwarna kuning cerah bertuliskan besar “Bus Sekolah” melintasi jalanan,
saat ada beberapa pelajar yang berdiri di pinggir jalan , kendaraan ini sigap
menepi dan mengangkut anak sekolah itu,
pemandangan yang unik mengingat jaman
sekarang bus sekolah jarang ada di sebuah kota, paling saya terakhir melihat
bus sekoalh itu di film remaja amerika atau di film Harry Potter, ah bukan itu
bus sekolah Hogwarts gak keren samasekali.
Ketika siang tiba, cuaca sudah agak
panas, tak jauh beda dengan kota yang lain, kita perlu sedikit menghindari
teriknya mentari karena Bandung tak lagi sedingin empat lima tahun kebelakang,
namun sejuknya udara mulai terasa saat kita berada di senja hari, udara menjadi lembut menyentuh
kulit, segarnya aroma tanah Parahyangan merasuki paru paru, inilah Bandung
sebenarnya, begitu batin saya berkata.
Menjelang malam tiba, suasana riuh
menyelimuti dinginnya udara, di seputaran Gedung Sate, Gasibu, atau didepan
BIP, dan jalan Asia Afrika, banyak rombongan keluarga, anak muda atau yang hanya sekedar hangout
sambil menikmati malam, tertib suasananya, tak ada sesuatu yang membuat kita
pantas khawatir, menyenangkan sekali, pantaslah kota ini dijuluki Paris Van
Java, coz It’s so romantic being here.
Hari
kedua, ketika semua kegiatan sudah selesai saya diberi bonus one day tour oleh
bos, saya memilih ke Saung Angklung Mang Udjo, sebuah pertunjukan tradisional
khas Sunda yang ada di Padasuka dekat Cicaheum, tepatnya di jalan Jl.
Padasuka 118 Bandung, untuk menjangkaunya hanya ada plang agak besar yang menunjukkan tempat ini, kami
datang persis jam 1 siang Angklung adalah sebuah alat musik yang terbuat dari potongan bambu.
Alat musik ini terdiri dari 2-4tabung bambu yang dirangkai menjadi satu dengan
talirotan. Tabung bambu dikuir detail dan dipotong sedemikian rupa oleh
pengrajin angklung profesional untuk menghasilkan nada tertentu ketika bingkai
bambu digoyang.
Setiap angklung
menghasilkan nada atau akord yang berbeda sehingga beberapa pemain
harus bekerja sama untuk menghasilkan melodi yang indah. Instrumen ini telah
dikenal sejak zaman kuno di beberapa wilayah Indonesia, terutama di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.
Kata angklung
berasal dari bahasa Sunda yaitu ‘angkleung-angkleungan’ yaitu gerakan pemain angklung, serta
dari suara ‘klung’yang
dihasilkan instrument bambu ini. Angklung sebenarnya merupakan pengembangan
dari alat musik calung, yaitu tabung bambu yang dipukul, sedangkan angklung
merupakan tabung bambu yang digoyang sehingga menghasilkan hanya satu nada
untuk setiap instrumennya.
Dalam tradisi
Sunda masa lalu, instrumen angklung memiliki fungsi dalam ritual keagamaan
yaitu untuk mengundang Dewi Sri (Dewi padi lambang kemakmuran) agar turun ke
bumi dan memberikan kesuburan tanaman padi. Hingga saat ini di beberapa desa
masih dijumpai upacara yang mempergunakan angklung buhun untuk kegiatan
tradisional seperti: pesta panen, ngaseuk
pare, nginebkeun pare, ngampihkeun pare, seren taun, nadran, helaran, turun
bumi, dan sedekah bumi.
Di sinilah Anda dapat merasakan kesegaran alam, kicauan burung dan
kegembiraan anak-anak dalam pementasan budaya Sunda.
Saung Angklung
Udjo diibaratkan oase kebudayaan di tengah perkampungan padat, di atas tanah
seluas 1,2 hektar. Telah ada 42 negara yang mengenal permainan angklung.
Permintaan yang banyak sekali dari negara Belanda, juga Korea Selatan, bahkan
di Korea Selatan angklung telah dikenalkan sejak masih Sekolah Dasar.
Di Saung Angklung Udjo ada gemerisik daun bambu menyapa telinga Anda,
mulai dari gerbang hingga pojok paling belakang. Hanya ada bambu dan bambu di
sini.
Selain sebagai
alat musik tradisional, angklung juga melambangkan kehidupan manusia yang tidak
dapat berdiri tetapi saling membutuhkan. Tabung besar dan kecil dari deretan
bambu ini menggambarkan perkembangan kehidupan manusia. Tabung bambu kecil
menggambarkan bahwa setiap orang memiliki impian dan keinginan untuk menjadi
orang besar yang dilambangkan dengan tabung besar. Ketika angklung digoyangkan,
semua tabung menciptakan harmoni yang menggambarkan kehidupan sebagaimana
seharusnya.
Di tempat ini saya bergabung dengan
sejumlah rombongan pelajar dan mahasiswa, saat sesi main angklung berjamaah,
saya terpesona oleh sang instruktur yang bernama Ria, seorang gadis muda
berpakaian ala Sunda dengan yakin dan bak seorang konduktor atau komposer atau
apalah namanya memimpin ratusan orang hanya dengan bermoodalkan isyaarat jari
yang diikuti dengan alunan angklung sesuai petunjuk jari tangannya, kemudian
terciptalah harmonisasi lagu tercipta, terdengar lagu Bunda nya Melly Goeslaw
mendayu, kemudian You Raise Me Up nya Josh Groban menyusul semuanya dalam
bingkai musik angklung arahan Ria. Tak hanya itu di Saung Angklung Mang Udjo kita
juga disuguhi dengan sejumlah show tourism khas Sunda seperti demonstrasi
wayang golek, Helaran atau pertunjukan angklung nada Pentatonis yang digunakan
untuk mengiringi upacara Khitanan, Tari Topeng, Tari Merak, Angklung Mini,
Alunan Rumpun Bambu alias Arumba, Angklung Padaeng yaitu Angklung laras
Diatonis yang khusus diciptakan sang legenda angklung Bapak Daeng Soetigna
Almarhum, Orkestra Angklung dari para murid senior Saung Angklung Mang Udjo dan
yang terakhir adalah menari bersama, wow It’s Amazing.
Puas menjalani one day tour akhirnya
saya berkemas pulang, tak lupa oleh oleh berbagai jenis seperti manisan Cabe,
wow ini yang menakjubkan, Cabe yang super pedas diubah menjadi seegar manis dan
sedikit asin tanpa meninggalkan tekstur pedasnya, kemudian brownies, kerupuk
Tahu susu, dan sebagainya. One Day in Paris Van Java, sebuah pengalaman tiada
terkira, indah dan mengesankan.
(Aryo Widiyanto, Traveller Photograper, Writer, Blogger di aryowidiyanto.blogspot.com. Fesbuk :Aryo Widiyanto Telp 087747970200)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar